Siang itu (11/4) hujan deras mengguyur Kota Depok. Saya bersama Bang Hadi tak mau kalah. Perbincangan kami juga semakin keras. Kami hanya berhenti kala kilat menyambar dengan begitu terang disusul suara guntur yang menggelegar. Saat itu terjadi, mata kami saling tatap. Sedang hati sama-sama berdoa. “Selamatkan kami, ya, Allah,” begitu kira-kira. Satu tema yang kami keraskan suara adalah tentang fakta: ketidakefektifan seorang pemimpin. Tapi kita tidak tertarik berkomentar. Melainkan mengambil pelajaran.
Seorang pemimpin idealnya punya data sebelum mengambil kebijakan apapun. Kemudian tidak mengambil kebijakan kecuali melalui proses musyawarah. Nah, pemimpin yang tidak efektif biasanya membingkai soal apapun dengan subjektivitasnya sendiri.
Akibatnya ada keputusan yang lain tidak tahu. Dampaknya tidak main-main, tim jadi ogah-ogahan. Akibatnya organisasi berjalan tidak semestinya.
John C. Maxwell dalam buku “Menjadi Pemimpin Efektif” memberi pesan tegas. “Apa pun posisi Anda dalam suatu hubungan, jika Anda menyadari suatu masalah, Anda bertanggung jawab untuk melakukan upaya bersama untuk menciptakan perubahan positif. Berhentilah menuding dan membuat alasan, dan cobalah menjadi katalisator dengan menunjukkan dan memulai perilaku yang sesuai. Memutuskan untuk tidak menjadi reaktor tetapi inisiator.”
Tiga Cara Belajar
Dari uraian Maxwell itu kita dapat tiga cara belajar menjadi pemimpin efektif. Pertama, ambil tanggung jawab. Kedua, lakukan perubahan. Ketiga, berhenti menuding dan membuat alasan.
Dalam kata yang lain, pelajaran dari kegagalan seseorang dalam memimpin adalah kita mengambil poin penting untuk mengambil pelajaran. Tentu saja agar kita tidak mengulangi kesalahan yang pernah ada. Kemudian kita mampu mengantisipasi kesalahan kita dalam merespon perubahan bahkan tantangan.
Seperti Alquran bercerita tentang orang-orang yang salah. Kita tak perlu mengutuk, tapi bagaimana kita tak seperti mereka yang terkutuk. Bahkan lebih jauh bagaimana kita mendapat sinar kehidupan dari peristiwa yang kaya pelajaran seperti itu.
Ringkasnya, belajar dalam hal ini benar-benar menjadikan sejarah masa lalu sebagai gerbang untuk membentuk kepribadian yang lebih bertanggung jawab. Siap melakukan perubahan dan berorientasi pada tindakan, bukan alasan.
Empati sebagai Kunci Belajar dari Pengalaman
Untuk menerapkan tiga cara belajar menjadi pemimpin efektif—mengambil tanggung jawab, melakukan perubahan, dan berhenti menuding atau membuat alasan—kita membutuhkan satu elemen penting: empati.
Empati bukan hanya soal merasakan apa yang orang lain rasakan, tetapi juga kemampuan untuk melihat diri kita sendiri dalam cermin pengalaman masa lalu. Dengan empati, kita bisa membaca sejarah sebagai pelajaran hidup, bukan sekadar kisah gagal atau sukses.
Analoginya seperti ini: bayangkan Anda sedang menjelajahi media sosial dan menemukan unggahan seseorang yang mengalami kegagalan besar dalam karier atau hubungan. Alih-alih berkomentar sinis atau merasa lebih baik darinya. Anda justru penting bertanya, “Apa yang bisa saya pelajari dari situasi ini agar tidak terjebak dalam kesalahan serupa?”
Itulah esensi empati dalam belajar—kita tidak hanya melihat orang lain sebagai contoh buruk, tetapi sebagai guru yang tanpa sadar memberikan pelajaran berharga.
Faktanya, banyak pemimpin besar di era modern berhasil karena mereka mampu belajar dari kegagalan orang lain. Misalnya, seorang CEO startup teknologi yang gagal di awal karirnya mungkin akan mempelajari kasus kegagalan perusahaan sejenis dan mengidentifikasi pola-pola kesalahan yang harus dihindari. Ia tidak menyalahkan pasar atau timnya, tetapi fokus pada bagaimana ia bisa berubah untuk menghadapi tantangan dengan lebih baik.
Cara Penerapan
Cara menerapkan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari cukup sederhana namun mendalam. Pertama, latih diri untuk selalu bertanya, “Apa pelajaran yang bisa saya ambil dari ini?” setiap kali menghadapi kegagalan atau menyaksikan kegagalan orang lain.
Kedua, buat daftar tindakan konkret yang dapat Anda lakukan untuk menghindari kesalahan serupa. Ketiga, praktikkan sikap proaktif dengan mengambil langkah kecil tapi konsisten menuju perubahan.
Sebagai ilustrasi kekinian, bayangkan Anda adalah seorang content creator yang gagal meningkatkan jumlah followers meski sudah berusaha keras. Alih-alih menyalahkan algoritma platform atau tren yang berubah. Anda mencermati strategi para kreator sukses, belajar dari kesalahan mereka, dan mulai mengubah pendekatan Anda—misalnya, dengan lebih memahami audiens atau meningkatkan kualitas konten. Dengan begitu, kegagalan bukan lagi beban, melainkan pijakan menuju kesuksesan.
Pada akhirnya, belajar dari pengalaman adalah tentang transformasi diri. Seperti Alquran yang mengisahkan kisah-kisah umat terdahulu, tujuannya bukan untuk sekadar mengenang, tetapi untuk menginspirasi perubahan.
Kalau kita ingin menjadi pemimpin efektif, maka saatnya menjadikan masa lalu sebagai fondasi. Bukan batu sandungan. Kemudian biarkan empati menjadi kompas kita dalam meniti jalan menuju kepemimpinan yang efektif dan bermakna. Jika ini kita miliki, maka belajar akan jadi karakter. Dan, komentar tidak kita berikan kecuali memang kita perlukan.*