Home Opini Kapan Punya Pemimpin Negeri Lebih Berarti?
Jadilah Pemimpin Berarti

Kapan Punya Pemimpin Negeri Lebih Berarti?

by Mas Imam

Hampir semua orang tergelitik oleh tindak-tanduk sebagian pemimpin negeri yang cenderung jauh dari substansi keberadaannya sebagai pelayan publik.

Tapi mereka masih memilih lebih percaya diri dengan sarana media yang tampak terus menyediakan ruang luas bagi segenap statement dan berita yang mereka kehendaki.

Tapi, seperti kehidupan alam ini, seberapa pun matahari terus bersinar, awan tetap tidak bisa dikendalikan oleh sang surya. Satu sama lain tidak bisa menguasai, namun melengkapi dan menguatkan keseimbangan.

Matahari tak lebih hebat dari awan, juga angin atau bahkan bumi. Semua itu hadir untuk satu kesatuan, yang dalam bahasa Bang Rhoma Irama seperti roda, “Agar bisa berputar, berjalan.”

Dalam kata yang lain, sosok pemimpin harusnya bertugas sebagaimana layaknya pemimpin. Tidak perlu alih profesi menjadi artis atau tukang peran.

Main Bukti bukan Kata

Dalam bahasa sederhana, pemimpin itu, ya, cukup memberikan bukti yang bisa dirasakan masyarakat. Kalau pun menyampaikan rencana maka pastikan masuk akal dan bisa dibuktikan, sehingga menjadi karya nyata yang bermanfaat bagi rakyat.

Pemimpin berarti ialah yang bernurani

Pemimpin berarti ialah yang bernurani

Idealnya, pemimpin memang fokus dan tanggungjawab dengan janji dan rencananya, termasuk tanggap dengan problematika rakyat. Hal itu diwujudkan dengan mewujudkan satu demi satu kebaikan yang dijanjikan setahap demi setahap, hingga akhirnya tuntas terlaksana semua.

Baca Juga: Politik, Beras dan Jati Diri Bangsa

Pada saat seperti itu, pemimpin akan bisa memberi arti, lebih jauh bisa memompa keyakinan rakyat, yang pada akhirnya rakyat akan mencintai dan mendambakannya.

Tetapi, kalau pemimpin malah senang main kata, bertindak tanpa nurani, dan bekerja dengan gaya selebriti, sudahlah pasti, siapapun akan pergi.

Karena bagaimanapun bagusnya sebuah kemasan, pada akhirnya orang akan melihat substansi alias isi dari kemasan itu sendiri.

Substansi alias isi dari sosok pemimpin akan hadir kala dirinya berhasil membuang jauh mental buruk dalam dirinya. Mental buruk itu antara lain kurang tanggung jawab, kurang terlibat dan tidak merasakan derita orang-orang yang dipimpinnya, sering pilih kasih dan menuntutu kepatuhan rakyat tanpa syarat.

Bagaimana Kedepan?

Secara langsung, tentu tidak akan ada yang sanggup mengubah suatu keadaan. Namun secara bertahap perubahan bisa dihadirkan. Dengan catatan, rakyat semakin cerdas, mengerti mengapa dirinya memilih pemimpin dan pemimpin seperti apa yang dibutuhkan.

Tapi, langkah untuk itu tidak mudah. Karena kebanyakan orang yang maju dalam kontestasi kepemimpinan, memandang jabatan sebagai kehormatan daripada hakikat jabatan itu sendiri sebagai pelayan publik.

Akibatnya tidak sedikit yang maju dalam kompetisi adalah orang yang punya pikiran dan modal dengan tradisi transaksi jual beli. Dalam situasi seperti itu, semua hal bisa diatur, bisa dibeli, bisa dikondisikan. Bahkan termasuk rakyat itu sendiri.

Namun demikian, langkah terbaik adalah kembali pada konsep hidup yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa setiap diri adalah pemimpin dan akan bertanggungjawab atas kepemimpinannya.

Di sini, sekalipun diri hanya rakyat biasa, kerja ke sawah dan ke ladang atau ke laut, soal nurani jangan pernah mau ditinggalkan.

Sebab hanya nurani yang dapat mendorong seseorang menjadi pribadi yang peduli terhadap nilai, kemuliaan dan cita-cita, serta moral dan akhlak. Tanpa nurani, manusia telah kehilangan jati dirinya.

Sebuah buku menjelaskan bahwa hati nurani yang mampu mendorong pemimpin merancang perencanaan, yang tidak semata-mata mengandalkan prinsip manajemen rasional, tetapi juga memperhatikan unsur-unsur kemanusiaan, keselarasan, etika, moral, akhlak dan tentu saja kepatutan.

Semua itu tidak lain karena hati nurani dalam fungsi yang lain dapat menjadi pengendali diri, sehingga seseorang bisa meminimalisir nafsu untuk sombong, semau gue, dan menganggap dirinya yang paling benar.

Nuranilah yang akan mendorong seseorang menjadi pribadi yang memiliki kearifan, sehingga selamat dari kezaliman, kesewenang-wenangan dan kesukaan mempermainkan rakyat kecil sampai hidup susah, melarat dan sekarat.

Hikmah

Pada akhirnya, kita harus menjadi manusia yang pandai mengambil hikmah.

Selalu terbentang ruang pembelajaran yang panjang bagi orang yang mau berpikir. Mulai dari masa Presiden Soekarno hingga SBY dan saat ini di era Presiden Jokowi.

Baca Juga: Perbaiki Bangsa dengan Penerapan Adab Makan

Langkah terbaik adalah dengan tidak mengutuk siapapun, tapi mari melihat ke dalam. Mengapa semua ini bisa terjadi dan menimpa kehidupan kita semua?

Jawabannya dapat kita jadikan acuan untuk melangkah ke depan dengan pasti tanpa harus menodai hari ini dengan caci-maki dan kalimat-kalimat kutukan.

Karena untuk mengusir kegelapan, kita harus menghadirkan sinar. Karena untuk melenyapkan kebatilan kita harus teguh dan sabar dalam menegakkan kebenaran.

Bukan malah sebaliknya, maksud hati mengusir kegelapan, tapi malah saling meniup cahaya yang tersisa. Maksud diri ingin melenyapkan kebatilan, namun kebenaran ditenggelamkan. Ini bukan saja keliru untuk saat ini, tapi juga akan menjadikan peluang pemimpin yang lebih berarti di masa nanti, tinggal ilusi. Allahu a’lam.

Mas Imam Nawawi Ketua Umum Pemuda Hidayatullah
Bogor, 25 Jumadil Awwal 1442 H

 

 

 

Related Posts

Leave a Comment