Sebagai orang tua menyayangi anak itu keniscayaan. Namun sebaik-baik cara menyayangi anak, kita bisa belajar kepada Nabi Ya’kub as. Beliau sosok ayah yang sabar dan penuh pesan tauhid kepada anak-anaknya. Hatinya gelisah kalau anak-anaknya lupa kepada Allah. Dan, warisan terbaik orang tua kepada anak adalah tauhid dalam jiwanya.
Bahkan Nabi Ya’kub menjelang wafat, mengumpulkan anak-anaknya, bukan bicara soal harta. Tapi sebuah pertanyaan paling mendasar, siapa yang akan kalian sembah setelah aku meninggal dunia? Ini benar-benar kisah dahsyat, yang akal kita seharusnya kagum dan ingin meneguhkan tauhid dalam dada.
Jadi, suatu hari, sepulang dari Mesir, anak-anaknya yang bertugas mencari bantuan makanan pulang dengan hasil yang melimpah. Bahkan barang yang hendak ditukar dengan gandum dikembalikan.
Bahkan, mereka punya kesempatan emas lagi. Jika mereka membawa Bunyamin, saudara Nabi Yusuf as, mereka akan mendapatkan gandum seberat unta.
Anak-anak Nabi Ya’kub yang pernah melempar Nabi Yusuf saat kecil ke sumur itu pun meyakinkan Nabi Ya’kub. Berikan izin Bunyamin ikut, maka gandum akan mereka peroleh dalam jumlah besar.
Sumpah Kepada Anak-anaknya
Mendengar itu, Nabi Ya’kub tidak yakin. Namun dengan kebijaksanaannya seluruh anak-anaknya diajak bersumpah.
“Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh”. Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya’qub berkata: “Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan.” (QS. Yusuf: 66).
Kisah itu memberikan pelajaran penting bagi kita. Bahwa sumpah hanya boleh kita gunakan dalam perkara yang sangat penting. Lalu, setelah bersumpah, yakin seutuhnya kepada Allah.
Ungkapan Nabi Ya’kub itu memberi pemahaman kepada kita bahwa, cukuplah kita atas kesaksianNya, cukup juga atas penjagaanNya bagi kita.
Allah, Dia Maha Melihat, tidak ada yang tersembunyi bagiNya, dan Dia akan menghukum orang yang berkhianat dalam janjinya dan melanggar sumpahnya.
Sikap Mental
Sekalipun kisah itu adalah tentang keluarga, ayah dengan putra-putranya, namun bisa kembangkan pada sisi yang lebih luas.
Bahwa siapapun yang mengemban amanah, punya tanggung jawab yang harus dipikul, maka sikap dia mestinya menyadari Allah menjadi saksi.
Jika seseorang tidak amanah atas apa yang jadi tanggung jawabnya, maka ia terpantau oleh Allah. Cepat atau lambat hukum Allah akan berlaku.
Dan, dalam konteks putra-putra Nabi Ya’kub as, sumpah itu membuat mereka benar-benar memilih jalan yang lurus. Mereka mengikuti arahan dari Nabi Ya’kub as. Ketika Bunyamin tertangkap dalam karungnya ada piala raja, mereka usul agar Bunyamin tidak ditahan di Mesir. Salah satu dari mereka rela untuk jadi pengganti Bunyamin.
Seperti kita tahu, saudara-saudara Nabi Yusuf itu telah zalim. Namun, Nabi Yusuf mampu memaafkan. Bahkan kepada saudara-saudaranya yang zalim itu, Nabi Yusuf memberikan ungkapan tauhid yang luar biasa.
“Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 90).
Secuil dari kisah Nabi Ya’kub bersama anak-anaknya yang pernah berbuat zalim, kita dapat mengambil pelajaran bahwa Allah selalu mengawasi kita.
Kemudian dari Nabi Yusuf as, putra tersayang Nabi Ya’kub, yang luar biasa menjalani tempaan hidup. Kita dapat mengambil ibrah, bahwa orang yang akan menang, naik derajatnya, sukses dan berhasil secara substansial, adalah yang merawat dirinya dengan takwa dan sabar.
Wahai para orang tua era digital, apakah kita telah merisaukan hal paling mendasar ini dalam jiwa anak-anak kita?*