Dalam perhelatan politik baru-baru ini, Partai Gelora bersama delapan partai lainnya mengalami kegagalan yang mungkin mengundang tanda tanya banyak pihak. Hasil hitungan sementara menunjukkan bahwa Partai Gelora hanya berhasil meraih 1,29 persen suara, sementara partai lainnya juga mengalami nasib serupa dengan persentase yang tidak jauh berbeda.
PPP, Partai Hanura, dan Partai Buruh, dengan masing-masing 3,99 persen, 1,16 persen, dan 1,13 persen suara, juga terancam gagal melampaui ambang batas parlemen. Begitu juga dengan Partai Umat, PBB, Partai Garuda, dan PKN yang juga mengalami penurunan signifikan dalam perolehan suara, masing-masing dengan persentase di bawah 1 persen.
Sementara itu, partai besar seperti PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, dan PAN telah berhasil melampaui ambang batas parlemen sebesar 4 persen dan secara langsung dapat diprediksi akan lolos.
Anis Matta
Namun, yang menarik untuk kita perhatikan adalah kesulitan yang Partai Gelora hadapi.
Baca Juga: Pemimpin Tua Rentan Lupa
Mengapa partai ini, yang memiliki popularitas cukup baik, terutama dengan kehadiran tokoh-tokoh seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah yang juga sangat populer, masih gagal mendapatkan dukungan yang signifikan?
Mengapa meskipun mereka memiliki figur-figur yang dikenal, perolehan suara Partai Gelora tidak mencerminkan popularitas mereka?
Anis Matta, siapa tidak mengenal sosok cerdas dan lugas dalam bertutur kata itu?
Tetapi, boleh jadi ada faktor lain yang berperan kuat.
Salah satu pertanyaan yang muncul adalah apakah rakyat hanya memilih partai yang dikenal, tanpa mempertimbangkan visi, program, atau gagasan yang mereka usung. Apakah perlu ada refleksi lebih dalam tentang dinamika politik dan preferensi pemilih di balik kegagalan ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini menghadirkan gambaran yang menarik tentang dinamika politik dan pemilihan umum di negara kita.
Sebuah perenungan yang penting bagi partai politik dan pemimpinnya. Terutama dalam upaya memahami keinginan dan harapan masyarakat serta menyesuaikan strategi politik mereka ke depan.
Lahir di Tengah Krisis
Namun, kalau menyimak tulisan Mohammad Irfan, “Tumbuh di Tengah krisis Tiga Tahun Gelora Indonesia,” dapat kita temukan bagaimana secuil fakta tentang Partai Gelora.
Baca Lagi: Membangun Masyarakat Madani
“Partai Gelora lahir di tengah krisis, efeknya adalah partai ini lahir dengan segala keterbatasan sumber daya,” tulisnya.
Namun, itu bukan halangan, bukan penghalang. Tetapi itulah tantangan dan peluang yang mengharuskan Partai Gelora bekerja secara cerdas dan terukur. Demikian semangat yang memuncak dalam tubuh Partai Gelora dalam buku itu.
Dan, itu juga tergambar pada awal Februari 2024, yang mana Gelora optimis tembus Senayan. Bahkan prediksi menyebut Gelora akan tembus posisi 10 besar bersama PSI.
Namun itulah semangat, yang harus terus Gelora rawat seiring dengan hasil pemilu 2024, yang semoga masih ada ruang untuk lolos.
Sebuah pelajaran, bahwa perjuangan jalur politik, kini tak cukup bermodal ketenaran, bahkan pengalaman. Namun juga idealisme yang ada dalam diri seorang politisi, yang seutuhnya ada dalam penilaian pemilih itu sendiri, yakni rakyat Indonesia.
Lebih jauh, rakyat juga sepertinya agak kurang berminat terhadap partai-partai baru, yang cenderung cari perhatian dan tidak menawarkan hal yang benar-benar berbeda. Meskipun kita tahu secara substansi Gelora adalah partai dengan tujuan luar biasa.
Anis Matta menegaskan bahwa salah satu tujuan pendirian Partai Gelora adalah untuk mewujudkan harapan supaya Indonesia bangkit dan maju sebagai kekuatan ke-5 di dunia. Ini juga impian banyak anak muda Indonesia.*