Home Kajian Utama Paradoks Jabatan Publik
Paradoks Jabatan Publik

Paradoks Jabatan Publik

by Mas Imam

Mungkin sebagian orang menalar, mengapa begitu banyak orang menginginkan jabatan publik. Tetapi begitu mendudukinya, sebagian orang ingin posisi itu bukan untuk melayani publik. Tetapi memuaskan diri sendiri. Paradoks memang.

Mereka cenderung enggan terbuka dan selalu berpikir jangka pendek. Hati dan pikirannya senantiasa ingin menjadikan siapa pun yang berbeda pendapat sebagai lawan.

Baca Juga: Komunikasi Politik Bukan Tanpa Arah

Siang dan malam mereka berpikir bagaimana membungkam orang yang bertentangan dengan ide dan keputusannya.

Tanpa sadar mereka yang harusnya berpikir tentang bagaimana langkah memajukan rakyat menjadi sangat sibuk bermain intrik.

Pernyataan-pernyataannya cenderung tidak berbobot. Kurang berani berhadapan secara langsung dengan publik. Tetapi selalu berupaya mencuri hati rakyat agar dapat terus menduduki jabatan publik.

Uang

Mereka yang senang dengan jabatan publik dan memerolehnya dengan kekuatan uang sangat kecil kemungkinan memiiki komitmen menyejahterakan rakyat.

Logikanya sederhana, mereka yang dalam proses menjadi kandidat harus berani membayar tidak mungkin duduk dalam kursi jabatan kecuali akan mengusahakan uangnya kembali.

Bahkan mereka ingin uang itu kembali dalam jumlah yang melimpah. Soal cara mereka tak butuh berpikir, karena semua jalan akan mereka ambil, apa pun itu.

Oleh karena itu kekhawatiran banyak pihak, utamanya kala pemilu tiba adalah maraknya politik uang.

Mahendra Kusuma dalam karyanya “Pergulatan Intelektualitas untuk Politik dan Demokrasi” memberikan beberapa catatan.

Dari awal pencalonan orang ramai membahas bagaimana partai politik meminta sejumlah uang kepada calon yang akan diusung.

Maka para calon pun menyiapkan uang mahar. Jika tidak maka upaya untuk menduduki kursi jabatan publik mulai dari bupati sampai presiden akan kandas.

“Meski semua partai menyatakan menolak mahar dalam pencalonan, pernyataan resmpi partai berbeda dengan perilaku pengurusnya.

Transaski pencaonan ini berlangsung di ruang-ruang tertutup, melibatkan elite partai dengan calon.

Kegiatan ilegal ini terdengar tetapi sulit dibuktikan. Akibatnya elite partai maupun calon tak takut dengan sanki yang diancamkan UU.”

Tulus

Menyadari hal di atas tugas kita ke depan adalah bagaimana menjadi manusia yang tulus.

Semua pihak, terutama para “pemain” dalam demokrasi harus benar-benar menyadari bahwa jabatan publik hadir adalah untuk orang yang mau berjuang dan berkorban demi kesejahteraan masyarakat.

Jabatan publik bukan ATM diri, keluarga dan kelompok.

Baca Lagi: Meek Politik

Tetapi pandangan seperti ini mungkin sangat sulit masuk dalam rasio orang yang sudah menjadi hamba uang.

Padahal kalau mau kembali pada makna demokrasi yang rakyat menjadi pemilik kedaulatan, setiap jabatan publik adalah mandat yang diberika oleh rakyat.

Demokrasi itu sendiri juga berfungsi membatasi kekuasaan agar tidak ada pejabat yang berkhianat kepada rakyat.

Tetapi apakah ini semua telah terjadi?

Rakyat Indonesia sangat penting memahami ini semua dengan penuh kejernihan jiwa dan pikiran. Supaya jabatan publik tidak membutakan para pejabat.*

Mas Imam Nawawia

Related Posts

Leave a Comment