Home Artikel Pakai Akal Saja Bahagia itu Mustahil
Pakai Akal Saja Bahagia itu Mustahil

Pakai Akal Saja Bahagia itu Mustahil

by Imam Nawawi

Dalam sebuah percakapan film intelejen Turki (Teskilat) ada sebuah ungkapan. “Ketika bekerja, saya hanya menggunakan akal. Karena pekerjaan saya membutuhkan kecermatan.”

Saya kira itu kalimat yang biasa bagi seorang analis yang harus memerhatikan data dan fakta kemudian mengambil kesimpulan yang tepat.

Tetapi dalam hidup, akal saja yang digunakan, jadikan banyak orang gagal, jauh bahkan mustahil bertemu kebahagiaan.

Karena sifat akal memang rasional, tetapi tanpa bimbingan wahyu, kebenaran akal sangat relatif dan begitu terbatas.

Sebagai contoh, belakangan banyak orang hidup, menikah tetapi tidak mau punya anak. Itu rasional dan dalam tinjauan ekonomi sangat baik.

Sebab memiliki anak memakan biaya, seperti pampers dan lain sebagainya. Tetapi tidak punya anak bukan kebahagiaan sesungguhnya.

Lihat saja Jerman, jika pada tempo 50 tahun mendatang angka kelahiran selalu lebih kecil dari angka kematian, maka pada 2060 Jerman akan dipenuhi oleh generasi tua jompo (Lihat Syamsuddin Arif “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, halaman: 128).

Feminisme

Artinya kalau wanita tidak lagi mau hamil, sebuah negara akan bertemu kepunahan. Apalagi dalam situasi seperti itu mereka kemudian memilih hidup dengan suka sesama jenis. Wanita dengan wanita. Wanita tak butuh pria.

Selain generasi hilang, kehidupan akan kacau. Sebab pentingnya keseimbangan dalam hidup justru manusia khianati sendiri.

Padahal kalau ia mau jujur, bukankah ia membutuhkan sandal kanan dan sandal kiri. Tidak kiri atau kanan semua?

Bagi wanita sekarang, bahagia itu yang bagaimana. Jadi feminis, liberalis, menjadi ibu rumah tangga atua berkarir?

Tentu semua punya standar. Tapi kalau mau bahagia yang sebenarnya, maka menikah dan menutup aurat dan lebih menjaga rumah dari pada “kelayapan”, jauh lebih membahagiakan.

Walaupun penting sekali kita catat, Islam tidak melarang wanita beraktivitas yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan. Seperti menjadi guru, dokter dan lainnya.

Akan tetapi, kalau ada orang memandang wanita berhijab dan aktif dalam rumah tangga tidak bahagia, itu sama dengan orang yang melihat orang lain dengan “pakaiannya” sendiri. Selain tidak tepat, jelas penilaian mereka sangat tidak berguna.

Lagi pula mana ada orang feminis yang bisa kita jadikan teladan, yang hidup bahagia dengan kehidupannya. Kalau ada, pasti akan ada profil atau sejarahnya. Artinya, jelas, tidak ada kebahagiaan pada pemahaman seperti itu.

Kebahagiaan Nabi-Nabi

Para Nabi Allah hadirkan ke muka bumi tidak sebatas membawa risalah, tetapi juga pelajaran penting.

Pelajaran itu perihal bagaimana bahagia bisa kita raih. Lihat tidak satu pun Nabi yang tidak berproses secara ketat dan keras dalam kehidupan dunia ini.

Tetapi satu hal yang para Nabi itu miliki adalah keyakinan yang teguh kepada janji Allah, sehingga mereka tidak pernah kenal dengan kata gentar apalagi mundur.

Kita ambil saja kisah Nabi Yusuf alayhissalam. Begitu ia memiliki mimpi besar, sesaat kemudian ia harus berhadapan dengan ujian. Mulai kedengkian saudara-saudaranya, hingga harus menderita dalam sumur, menjadi budak dan masuk penjara.

Kemudian usai tahapan penempaan yang demikian panjang, Nabi Yusuf alayhissalam Allah berikan pembuktian janji-Nya.

Pandangan Akal

Memerhatikan fakta itu akal bisa menangkap bahwa kebahagiaan memang harus kita tebus. Tebus bukan dengan uang, tetapi kesabaran, kesungguhan dan optimisme.

Tidak akan bahagia orang yang tidak pandai tumbuh menghadapi masalah. Tidaka kan bahagia orang yang tidak pernah berjuang dan berkorban.

Tidak akan bahagia orang yang selalu lari dari tantangan. Hidup mau enak saja dan tidak pernah mau bertanggungjawab.

Menarik ungkapan Mark Manson dalam buku “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat” soal kebahagiaan.

“Sebagian besar orang ingin mendapatkan posisi puncak di perusahaan dan mendapatkan banyak uang – namun tidak banyak orang yang bersedia menderita selama 60 jam minggu kerja, perjalanan pergi-pulang kantor yan gjauh, berkas kerja yang memuakkan, dan menghadapi hirarki perusahaan yang sewenang-wenang demi melarikan diri dari neraka kubikel yang tak berujung.”

Itu baru mau bahagia dari sisi dunia, uang dan karir. Kalau mau bahagia dunia dan akhirat, terbayang kan, apa yang harus kita pilih, perjuangkan dan korbankan?

Kata Ibn Jauzi dalam Shaidul Khatir, jika diri masih mudah tergoda oleh kesenangan sesaat, yang berbau syahwat. Bagaimana ia akan sampai pada kebahagiaan yang sejati. Jadi, bahagia bukan akal semata.

Contoh siapa yang bisa menjelaskan kebahagiaan setelah manusia mati? Hanya Alquran. Bahkan Alquran menerangkan ada Surga yang menyediakan buah-buahan, susu, anggur dan sungai yang mengalir.

Jika Anda tidak percaya Surga, lalu manusia mana yang lebih baik akal dan pemikirannya daripada tuntunan Alquran?*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment