Pahamilah, ada banyak syarat sebuah bangsa dan peradaban bangkit. Dan, pada sesi ini kita akan ulas satu syarat di antara syarat-syarat kebangkitan.
Arnold Toynbee membahasakan bahwa peradaban bisa lahir kembali, walau telah jadi tengkorak dan tulang-belulang. Syaratnya harus ada yang namanya “minoritas kreatif.” Jika itu ada, maka satu syarat kebangkitan telah terpenuhi.
Baca Juga: Islam sebagai Peradaban
Layaknya organisme, peradaban melalui beberapa tahapan. Mulai kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan dan kehancuran. Sebuah penjelasan yang juga kita dapati telah lama Ibn Khaldun uraikan sebelum Toynbee lahir.
Taha Husain dalam buku “Falsafah Ibn Khaldun Al-Ijtima’iyah” mengatakan bahwa Ibn Khaldun adalah filosof sejarah, lebih dari sekadar bapak sosiologi Arab.
Minoritas kreatif ini mampu memberi respon positif berbagai tantangan yang hadir.
“Semakin canggih kemampuan minoritas kreatif itu merespon tantangan, semakin canggih pula bentuk peradaban yang dilahirkan kembali itu.”
Ahmad Suhelmi dalam buku “Pemikiran Politik Barat” menerangkan, itulah pandangan Toynbee yang ia beri nama “Challenge-response theory.”
Kemerdekaan
Teori ini ada benarnya kalau kita tarik dalam konteks komunitas kaum muda yang sadar pentingnya sebuah negara untuk mengakhiri penjajahan.
Kaum muda kala itu bukanlah mayoritas, tetapi mereka adalah kelompok kreatif, yang aktif membaca dan memberi respon terhadap perubahan, bahkan analisis masa depan secara tepat dan cepat.
Dalam kata yang lain, perubahan Indonesia, kalau kita ingin mewujudkannya, maka harus kita temukan, adakah ide dari kelompok minoritas kreatif ini.
Semakin nyaring kita bersuara dengan alunan peristiwa yang viral dan mayor, kecil kemungkinan kita bisa berpikir jernih dan bertindak nyata secara relevan.
Bagaimana tidak, kita cenderung lebih cepat berpendapat daripada membaca, menganalisis dan mempertimbangkan hal-hal penting dan mendasar.
Kita berada pada zaman dimana kebanyakan orang lebih suka berbicara baru berpikir.
Kondisi tak jauh berbeda juga terjadi pada banyak politisi. Mereka lebih suka “drama” daripada heroisme yang otentik. Terlebih hanya belakangan ini, rapat mereka tersorot kamera.
Sekalipun tak sama dengan sinetron, apakah ada yang berani sengaja tidur dalam sidang yang mata publik menatapnya?
Oleh karena itu ada banyak potongan video yang menampilkan wajah politis marah, murka, bahkan tangan menggebrak meja. Tetapi, apa hasilnya, itu yang publik nantikan.
Membaca Sejarah
Jadi, kalau kita ingin Indonesia bangkit dari keterpurukan saat ini, membaca sejarah jadi poin penting.
Baca Lagi: Pemimpin yang Dibutuhkan Indonesia
Terlebih kalau bicara politik, belakangan definisinya sangat sempit, hanya soal kekuasaan.
Padahal, menurut Martin Suryajaya dalam buku “Sejarah Pemikiran Politik Klasik” ketika Aristoteles bicara politik, maka itu artinya bicara kehidupan sosial dalam kota (polis).
Masuk dalam tema itu tentang etika, kodrat manusia, pengetahuan dan masalah-masalah internal keluarga. Jadi bukan soal mekanisme perwujudan kekuasaan belaka.
Dari sini kita tahu kenapa orang ada yang memandang politik harus dipisahkan dari agama. Itu karena mereka memang telah terseret pada definisi politik yang sempit, yang Aristoteles pun tak memahami politik seperti itu.
Nah, sekarang tugas kita adalah menemukan syarat kebangkitan yang lainnya.
Sembari terus berupaya menemukan atau bahkan membentuk apa yang kita bahas dalam kesempatan ini, yaitu kelompok minoritas kreatif.
Satu kelompok yang tahan banting dalam menghadapi tekanan sosial, budaya bahkan ekonomi. Mereka malah terus mampu menebar wangi perubahan dengan pikiran, sikap dan konsistensinya.
Karena kita belum tahu, langkah praktisnya kita harus mulai dari kesadaran diri.
Setidaknya kita bisa sedikit mengambil jarak dengan kebiasaan belakangan yang lebih banyak konsumtif daripada produktif, bahkan termasuk dalam hal olah informasi sekalipun.
Mungkin sebagian kita lebih banyak makan pikiran orang lain (yang belum tentu matang) daripada mengolahnya secara mandiri dan independen lagi menyeluruh.*