Teman-teman kali ini kita bahas tentang “otokritik” dai digital. Tema ini terinspirasi dari rubrik Figur Majalah Hidayatullah Edisi November 2024.
Dalam sajian wawancara di halaman 69 itu, Dr. Nirwan Syafrin mengatakan bahwa internet memang memudahkan dakwah. Tapi para ustadz dan dai perlu melakukan otokritik.
“Sebagian da’i kekinian kadang mengucapkan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehidupan nyatanya. Da’i-da’i kebanyakan selfie dan hanya menonjolkan personal branding, dibanding kepentingan umat lebih luas,” ungkapnya.
Baca Juga: Mengapa Pemimpin Ditinggalkan?
Pakar Ushul Fiqh itu pun menambahkan, “Sekarang mulai hilang da’i-da’i pejuang yang ikhlas. Beda dengan guru-guru kita zaman dulu. Mungkin karena inilah, keberkahan kurang dan pesan-pesan da’i tidak berdampak. Apalagi kalau ustadz sudah bertarif, wah itu sudah bahaya”.
Soal Niat
Sebagai orang yang pernah dibimbing tesis oleh Dr. Nirwan Syafrin, MIRK, kala saya kuliah di UIKA Bogor, pandangan itu sangat mendasar. Berkaitan dengan aspek yang sangat menentukan dalam Islam, yakni niat.
Bahwa semakin mudah sarana dakwah, da’i, ustadz, guru atau siapapun yang terpanggil dakwah di media sosial atau internet secara umum harus benar-benar memerhatikan niat. Karena bergeser niat dalam dakwah akan berubah arah dan substansi dakwahnya.
Niat dalam tradisi orang Arab bermakna menuju (al-qashd), kemudian menjadi tujuan. Niat juga bisa bermakna ‘keinginan’ (al-azm).
Sedangkan Imam Nawawi mengatakan niat adalah menuju ke sesuatu dan berkeinginan untuk melakukannya (lihat buku “Fiqh Niat” karya Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar).
Jadi, penting sekali bagi da’i dan siapapun yang ingin bermanfaat melalui internet untuk benar-benar memerhatikan niat. Karena yang akan kita peroleh adalah apa yang kita niatkan.
Jujur
Otokritik menghendaki kejujuran hati, apa sebenarnya yang mendasari kita melakukan dakwah di internet.
Saya kerap mendapat pertanyaan: apakah menulis melalui media ini telah menghasilkan rupiah?
Sebagai jawaban ringkas, orang kalau orientasinya keuntungan pribadi, biasanya kalau tidak dapat akan melemah dan berhenti melakukan sesuatu.
Nah, dakwah memang sebisa mungkin kita jaga kemurnian niatnya. Pada tataran ini dai harus berani mempertanyakan diri sendiri, terutama apa yang sebenarnya menjadi harapan terbesar dari melakukan dakwah. Maslahat umat atau bayang-bayang keuntungan diri sendiri.
Namun, otokritik bukan legitimasi untuk berhenti dalam dakwah di internet. Tetap lakukan dan lakukan perbaikan secara terus-menerus, terutama soal niat.
Kemudian, otokritik bukan berpikir sesaat, sekali jalan. Lakukanlah evaluasi secara berkala, terus rasakan dalam hati, apakah semakin intens berdakwah hati semakin tenang dan yang menyenangkan hati apakah diri dapat kesempatan berdakwah atau diri ingin imbalan materi dari manusia.
Semua itu ada di dalam hati dai itu sendiri. Prinsipnya dakwah digital saat ini sangatlah terbuka. Semakin aktif umat Islam mengisi internet akan semakin semarak dakwah di dunia maya. Mari luruskan niat dan dakwah kita perkuat bersama-sama.*