Kalau ada orang tua yang sukses, kira-kira yang mana? Semakin canggih teknologi, semakin dekat informasi, manusia biasa semakin tak pasti. Termasuk tak jelas dalam memberi makna sukses.
Apakah yang menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan mahal, sampai ke luar negeri?
Atau yang mendidik anaknya di pesantren dengan biaya selangit?
Mungkin iya, begitu. Sebagian besar orang punya pandangan.
Oleh karena itu banyak orang tua yang rela banting tulang, atau menjadi budak harta, agar anak meraih pendidikan terbaik.
Bahkan konon ada seorang kakek yang mantan menteri demi cucu, semua pejabat bawahannya juga harus menanggung macam-macam keperluan biaya untuk agenda bahagia sang penerus DNA.
Baca Lagi: Miliki Kekuatan Ini, Pasti Bahagia Selalu
Namun, sekali lagi kita perlu memastikan, apakah benar seperti itu, orang tua atau kakek yang bahagia?
Jujur
Kebanyakan orang agak enggan untuk jujur terhadap dirinya sendiri.
Mungkin, setiap orang yang punya mata kepala akan kagum kepada orang tua yang anaknya tercukupi pendidikannya pada level mahal.
Namun, apakah ada dalam sejarah, anak yang tumbuh menjadi pemimpin hebat lahir dari lingkungan yang tak pernah mengenalkan apa itu keprihatinan?
Lihat, dunia sekarang masuk dalam masa krisis luar biasa, bukan karena pemimpin yang ada tidak paham inovasi. Mereka mungkin sangat berwawasan dan berpergaulan internasional.
Akan tetapi karena dunia menjadi kendaraan mereka yang tak tahu apa itu empati. Tidak mengerti apa itu kenyamanan, selain dari egoisme, individualisme dan kapitalisme. Mereka hidup tanpa hati.
Jadi, orang tua yang memiliki anak, yang akal dan hatinya hanya tahu kesenangan dan kebahagiaan dirinya sendiri, itulah yang hatinya tidak tenang, juga tidak bahagia.
Sekali lagi, karena sebagai manusia, fitrah kita itu berbagi, peduli dan membahagiakan. Begitu manusia menjadi sangat egois, ia telah kehilangan jati dirinya paling esensi.
Munajat
Menarik renungan mendalam dari Pemimpin Umum Hidayatullah, KH. Abdurrahman Muhammad, yang jadi bahan pengingat kepada segenap stakeholder pendidikan di Hidayatullah.
Baca Lagi: Menggali Mutiara Hidup dari M. Natsir dan Abdullah Said
Kita sangat berkebutuhan terhadap lahirnya generasi muda yang memiliki semangat cinta dalam ibadah, dalam munajat. Hal ini disampaikannya dalam Musyawarah Khusus Kampus Induk dan Kampus Utama di Makassar (8/5/24).
KH. Abdurrahman Muhammad ingin melihat anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang shaleh. Mereka harus aktif dalam beribadah, berdoa, dan berpikir serta berdzikir.
“Bagaimana melihat keshalehannya? Terlihat dari munajat. Ia bolak-balik (ke) masjid melakukan shalat. Ia berdoa dan mengangkat tangannya. Munajat itu berpikir dan berdzikir. Sisanya itu (ia gunakan) jihad mewujudkan ketaatan dan ketaatan mewujudkan kebaikan dan kebaikan,” tegasnya.
Menurut pria yang pernah tugas dakwah di Jayapura Papua itu, hidup ini hanya ada dua. “Hanya ada dua, yaitu munajat dan berjuang (berjihad),” tegasnya.
Hal itu memberikan sebuah isyarah mendasar bahwa orang tua harus memperhatikan lembaga pendidikan anak-anaknya.
Perhatikan pesantren yang ada, harus mampu menjadi episentrum lahirnya generasi Islam yang sadar akan kebutuhan utamanya, yakni bermunajat kepada Allah, memiliki karakter ulul albab, dan tidak punya agenda utama selain mentaati Allah, mentaati Rasulullah SAW.
Sekarang mari cek di kamar kita, saat adzan telah berkumandang. Adakah anak-anak kita telah sadar untuk segera munajat kepada Allah?
Jika belum, masih terbuka kesempatan untuk kita menanamkan tauhid ke dalam jiwa mereka. Karena Nabi Ya’qub as itu bertanya perihal siapa yang akan disembah beberapa saat sebelum wafat.
Artinya, sebagai orang tua kita punya kesempatan luas untuk terus memastikan anak-anak kita bertauhid kepada Allah Ta’ala. Kelak, anak-anak yang mendoakan kita sebagai orang tuanya, itulah yang akan jadi aset paling berharga.*