Mungkin sebagian orang tidak sadar bahwa suka membicarakan orang lain, apalagi sampai menyalahkan, jadikan banyak pribadi kehilangan nikmat. Utamanya nikmat yang dapat mengangkat kualitas hidup, yakni nikmat menghisab atau menguliti jiwa sendiri. Padahal ini urusan paling manusia perlukan.
Dan, buruknya lagi, dalam skala lebih luas, manusia memang benar-benar kehilangan nikmat ini. Sampai-sampai banjir yang terjadi pada banyak titik, itu katanya karena cuaca. Ya, cuaca ekstream, atau dalam bahasa yang lain, curah hujan tinggi.
Seorang kolega dengan status facebook menuliskan, benarkah itu karena cuaca, atau karena hutan terus berkurang dan pengelolaan lahan telah kita abaikan setelah pohon-pohonnya ditebang secara ganas dan serampangan?
Jika ini kita biarkan terus dan tidak ada pihak yang memulai untuk mengkoreksi diri (dalam bahasa Islam muhasabah) maka selamanya manusia dalam negeri ini akan buta untuk melihat ke dalam.
Baca Juga: Pemimpin yang Berkekuatan Spiritual
Seperti kata Ebiet G Ade, “Tengoklah ke dalam, sebelum bicara.”
Muhasabah Berarti Merawat Jiwa
Pernah melihat mobil mogok saat kita melaju dalam kenyamanan jalan tol atau jalanan biasa? Kira-kira, kalau yang mengemudikan mobil berpikir bahwa mogok itu karena jeleknya produsen mobil, bisakah dia tergerak memperbaikinya?
Kadang contoh dan bukti itu tersebar pada banyak titik yang mengitari dan mengelilingi hidup kita. Bahwa kalau mobil ingin performanya bagus dan bisa kita andalkan, jangan lupa untuk service rutin, termasuk ganti oli. Ini syarat dasar untuk sebuah kendaraan. Bagaimana dengan jiwa kita?
Dalam konteks manusia, kala hati gelisah, malas menguasai jiwa, dan putus ada datang, maka sebenarnya itu bukan karena orang lain. Tapi sangat mungkin dan bisa kita pastikan, karena jiwa tidak ia rawat dengan baik. Muhasabah adalah cara terbaik merawat jiwa, sehingga bisa ‘lari kencang’ dalam kehidupan.
Oleh karena itu, pesan Sayyidina Umar bin Khathab, “Hisablah jiwamu sebelum kamu dihisab (oleh Allah).”
Maknanya, rawatlah jiwamu agar selamat pada hari yang mana masa pertanggungjawaban tiba. Dan, itu seperti penjelasan para ulama, mushasabah pada akhirnya dapat mengangkat seseorang meningkatkan derajat jiwanya pada hadapan Allah Ta’ala. Namun demikian ini bukan perkara mudah, sebab kadang manusia tunduk oleh hawa nafsu, ego dan segala hal yang merusak.
Siap Melaju Ke Depan
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18).
Artinya, muhasahabah atau menguliti jiwa sendiri, bagi pemerintah berarti evaluasi menyeluruh akan menjadikan jiwa lebih mantap dalam menatap masa depan. Tak ada ragu, esok harus lebih maju.

Karena muhasabah memang syarat mencapai sukses, baik dunia maupun akhirat. Dengan langkah seperti ini, maka perbaikan akan bisa kita sadari. Dan, kita merasa penting untuk melakukannya. Kemudian bersegera mengagendakan perubahan itu dengan semangat jiwa yang baru, seperti jujur, berani, tanggungjawab, dan tidak menuding-nuding siapapun sebagai kambing hitam.
Baca Juga: Ikhlas Dalam Ketidaksesuaian yang Dihadapi
Sebab, pada akhirnya, kelak setiap manusia akan bertanggungjawab terhadap jiwanya masing-masing. Jadi, mari latih menikmati kegiatan menguliti jiwa sendiri, sehingga segala kebaikan datang dan segala keburukan lari tunggang langgang, baik dari kepala maupun dada kita semua.
Mas Imam Nawawi Perenung Kejadian
Bogor, 10 Jumadil Akhir 1442 H


