Saya ambil judul “Nikah itu Rasional” karena memang pernikahan memberikan jawaban akan segenap kebutuhan dari eksistensi manusia.
Latar belakang dari pilihan judul itu adalah sebuah berita tentang kebijakan Pemerintah Korea Selatan (Korsel) yang berikan Rp. 23 juta bagi warga yang mau memiliki anak.
Baca Lagi: Memulai Hidup Bahagia
Langkah itu ditetapkan guna mengatasi rendahnya angka kelahiran bayi. Pemerintah dengan senang hati menerima pendaftaran bayi sejak 1 Januari 2022.
Begitu mendaftar orang yang telah memiliki bayi akan mendapatkan uang tunai Rp. 23 juta. Dan, ketetapan itu berlaku sampai akhir tahun 2022.
Alasan
Mengapa angka kelahiran bayi menurun tidak lain karena faktor ekonomi. Warga Korsel sulit mendapat hunian dengan harga terjangkau.
Akibat dari kondisi itu, generasi muda Korsel memilih tidak menikah apalagi membangun keluarga.
Inilah bedanya orang Indonesia dengan Korsel. Meminjam istilah dari Cak Nun, Indonesia ini warga negaranya hebat-hebat.
Besok istri mau melahirkan, hari ini tidak punya uang. Dia tetap bisa bercanda dan tertawa sembari tetap merokok.
Tentu saja itu sebuah candaan, namun memberikan sebuah gambaran bahwa bangsa Indonesia jauh lebih tajam dalam melihat kehidupan ini.
Sebab nilai-nilai kemanusiaan sejatinya tidak bisa bersandar hanya pada satu aspek semata. Tetapi semua aspek kemanusiaan itu sendiri.
Bukankah manusia bukan hanya punya akal? Bukankah manusia juga memiliki nurani yang kalau itu terus mendapatkan siraman nutrisi spiritual akan menghadirkan keseimbangan dan kekuatan?
Jadi, hidup yang bahagia sebenarnya bukan pada seberapa banyak sandaran materi yang dapat menjadi andalan.
Melainkan, hidup yang ruhani manusia mendapatkan nutrisi dan kekuatannya dengan iman dan taqwa kepada Allah Ta’ala.
Terlebih, kalau mau mendalami dengan utuh, Islam selalu mendorong umat ini untuk senantiasa produktif dan progresif serta tetap dalam adab.
Logika Terbalik
Lebih jauh, kalau mau menelusuri lebih dalam mengapa orang Barat pada umumnya ogah memiliki anak adalah karena logika yang terbalik.
Logika terbalik ini ialah kondisi manusia yang berpikir hanya pada kenikmatan jasadiyah.
Baca Juga: Masa Depan Anak Kita
Mereka berpikir, kalau hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis, mengapa harus menikah. Bukankah itu bisa dilakukan dengan prinsip suka sama suka.
Awalnya mungkin mereka merasa itu cara berpikir yang maju. Tetapi lihat hari ini, bagaimana cara berpikir ogah memiliki anak itu mengancam eksistensi mereka.
Seperti Jepang, berdasarkan penelitian, Jepang akan kehilangan sepertiga populasinya pada 2060 kalau angka kelahiran tidak segera ada upaya peningkatan.
Nah, sekarang mari renungkan, apakah hidup tidak berkeluarga dan ogah memiliki anak sebuah cara berpikir yang cerdas?*