“Niat ingin bahagia tapi lain kenyataannya” merupakan ungkapan seorang kolega. Ia bertutur tentang perjalanan wisata Hari Raya Idul Fitri belum lama ini ke Pelabuhan Ratu.
Sengaja saya jadikan judul karena cukup penting jadi renungan kita bersama.
Kadang kala manusia berharap bahagia namun yang terjadi justru sebaliknya.
Bahkan, apa itu bahagia di era sekarang seperti sudah terbolak-balik. Tidak begitu jelas rasanya.
Baca Lagi: Iman itu Langsung Aksi
Seperti pengalaman kolega saya itu, niat ingin wisata bersama keluarga, berangkat pagi-pagi dari Caringin Sukabumi ke Pelabuhan Ratu.
Ternyata macet luar biasa yang ia dapatkan.
“Perjalanan kalau normal ya 2,5 jam. Ini sampai lebih dari 6 jam. Macet parah,” tuturnya sembari tersenyum.
Pas saya tanya langsung perihal kondisi hatinya, jawabannya seperti judul kisah ini.
“Niatnya ingin bahagia, tapi lain kenyataannya.”
Arti Bahagia
Bahagia artinya dalam kamus ialah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan).
Jika mengacu pada arti bahagia itu, maka orang yang terjebak macet jelas tidak bahagia.
Oleh karena itu menarik ungkapan seorang Rocky Gerung dalam satu perbincangan bahwa sekarang bahagia itu sudah tidak jelas dan tidak tentu.
Dahulu orang punya mobil, itu bahagia. Tapi sekarang, belum tentu.
Lihat saja, mana yang lebih bahagia, orang yang duduk menikmati secangkir kopi dengan orang yang baru keluar rumah, pakai mobil terbaik keluaran terbaru, masuk tol dan jleb, macet.
Artinya, bahagia soal bagaimana hati menikmati keadaan, situasi dan kondisi.
Bisa saja orang senang punya mobil baru, tapi apa arti mobil mewah di dalam kemacetan.
Orang rela bayar mahal karena kecepatan dan kenyamanan yang ditawarkan, tapi begitu masuk jalanan, ternyata mobil hanya boleh stop and go.
Bahagia Versi Gus Baha & Imam Ghazali
Jadi, kita memang harus merenung, bahagia itu sebenarnya yang mana.
Kalau penjelasan Gus Baha, orang yang bahagia itu adalah orang yang tidak terlalu banyak ketergantungannya pada sesuatu atau banyak hal.
Semakin sedikit yang ia inginkan dalam perkara duniawi, semakin ia bahagia.
Contoh, ketika seseorang membuat standard bahwa kalau makan itu di restoran ini baru enak makan, ia tidak akan bahagia kalau tidak keturutan.
Sebaliknya, kalau ia makan dengan perasaan penuh kesadaran akan iman dan kebutuhan akan pertolongan Allah bisa makan, maka ia akan bahagia.
Bahkan ia akan sadar bahwa dirinya tak patut menjadi orang yang sombong. Sebab ternyata dalam hidup ini, ketika manusia tidak makan, ia akan lemas, ia akan pingsan dan tidak bisa menyambung nyawa.
Baca Lagi: Rumus Bahagia
Artinya betapa lemah yang namanya manusia ini. Tidak makan saja bisa masalah panjang. Oleh karena itu hatinya akan bahagia, walau yang ia makan sederhana dan tidak dimana-mana.
Dalam pandangan Imam Ghazali, bahagia jauh lebih substansi.
Sebagaimana dikutip Buya Hamka dalam bukun Tasawuf Modern, Imam Ghazali menegaskan, ”Bahagia dan kelezatan yang sejati ialah bilamana dapat mengingat Allah.”*