Masyarakat tidak berhenti melimpahi perhatian terhadap kebijakan kenaikan harga BBM. Beragam fakta dan data coba dikemukakan. Nalar kritis masyarakat terus menyoroti kenaikan harga BBM secara cermat dan cerdas.
Satu langkah yang muncul adalah melakukan perbandingan antara harga BBM Malaysia dan Indonesia.
RON 95 (kualitas di atas Pertamax) di Malaysia berharga RM. 2.05 atau Rp. 6.642/liter. Jauh lebih murah dari Pertalite di Indonesia. Padahal kualitasnya di bawah (RON 90). Hal itu seperti cuitan Dr Indra Kusumah melalui akun twitternya @aindraku.
Baca Juga: Berpikir itu Ibadah
Dalam kata yang lain dari sisi kebijakan, pemerintahan Malaysia jauh lebih baik dalam memberikan layanan kepada rakyat daripada Indonesia. Dari harga dan kualitas jelas, tidak bisa terbantahkan lagi.
Naik Saat Harga Dunia Turun
Biasanya pemerintah berdalih hampir setiap kebijakan dalam negeri karena situasi global. Nah, mengapa dengan kenaikan harga BBM justru sebaliknya?
Suara.com mengabarkan: “Harga Minyak Dunia Turun Lagi, Kini Sentuh USD 95/Barel.
Meski begitu kata Menkeu RI Sri Mulyani pembengkakan subsidi tidak dapat terhindarkan.
“Dengan perhitungan tersebut, menurut Menkeu, angka kenaikan subsidi dari Rp 502 triliun masih akan tetap naik. Subsidi akan naik menjadi Rp 653 triliun jika harga ICP adalah rata-rata US$ 99/barel. Sedangkan jika harga ICP sebesar US$ 85/barel sampai Desember 2022 maka kenaikan subsidi menjadi Rp 640 triliun,” sebagaimana lansir CNBC.
Menarik Garis Kemiskinan
Namun, pemerintah tidak saja menghadapi nalar kritis masyarakat. Tetapi juga fakta yang pasti terjadi, yakni bertambahnya penduduk miskin.
Dalam bahasa BPS otomatis akan menarik garis kemiskinan. Demikian lansir idxchannel.com.
“Penduduk sekitar garis kemiskinan konsumsi paling banyak adalah makanan sekitar 64 persen. Sementara harga-harga makanan nanti naik karena kenaikan BBM, itu otomatis akan menarik garis kemiskinan naik,” terang Kepala BPS Margo Yuwono kepada wartawan di Gedung BPS, Kamis (1/9/2022).
Kebijakan kenaikan harga BBM bisa tidak menambah angka kemiskinan dengan syarat, pemerintah mampu menaikkan pendapatan masyarakat.
Pertanyaannya apakah mampu pemerintah menggenjot kenaikan pendapatan masyarakat?
Baca Lagi: Jadilah Pemenang Sejati
Mengingat kalau memang pemerintah mampu untuk apa harus kesulitan menjaga “kesehatan” APBN dengan “mengobarkan” rakyat kecil.
Pendek kata mungkin inilah pukulan terberat yang Presiden Jokowi alamai selama memerintah. Terlebih sebagian masyarakat ada yang merespon dengan semangat 45 turun ke jalan, melakukan unjuk rasa.
Sebuah pelajaran pasti, memimpin bukan perkara mudah. Memimpin tidak bisa semena-mena. Dan, memimpin harus siap berkorban, bukan siap bersenang-senang.*
Official Website Pemuda Hidayatullah | pemudahidayatullah.or.id