Jika ada orang yang seluruh perilakunya menjadi nafas hidup manusia yang mencintainya hingga kini bahkan nanti, maka itulah Nabi Muhammad SAW. Beliau yang mulia tak pernah mati.
Dalam konteks perilaku, apa yang diteladankan selalu menyala di seluruh penjuru dunia. Manusia berbondong-bondong, mengeluarkan biaya, energi dan waktu demi mengikutinya (ittiba’).
Sholat misalnya, ketika kita berangkat ke Madinah dan ke Makkah, tampak jelas, bahwa agenda utama orang datang ke dua masjid mulia itu adalah untuk sholat dan menunaikan rangkaian ibadah lainnya.
Baca Juga: Hormat Kepada Nabi Muhammad SAW
Kalau kita mau melakukan komparasi dengan tokoh-tokoh “religius” lainnya, maka siapa yang sampai hari ini, perilakunya menjadi agenda utama orang yang mencintainya.
Kisah hidup Nabi Muhammad SAW dari lahir hingga makamnya, ada, jelas, dan bisa kita tapaki secara langsung.
Orang yang sekali mendapat kesempatan berkunjung ke lokus kaya historis itu, dalam qolbunya selalu bersemai kerinduan yang semakin hari kian membesar.
Setiap ia mendapati saudara, teman dan kolega datang ke Makkah dan Madinah, maka seketika ia akan berucap, “Titip doa, ya. Semoga Allah memudahkan langkahku kembali ke Baitullah.”
Islam Bukan Dogma
Dengan secuil fakta itu, kita dapat memastikan bahwa Islam adalah jalan kehidupan, jalan keselamatan. Islam bukan dogma.
Jika Islam adalah dogma, maka sudah banyak orang akan melakukan perlawanan.
Kalau mengambil contoh peradaban Barat kita akan mudah untuk memahaminya beda dogma dengan jalan kehidupan (Islam).
Einstein melakukan pemberontakan terhadap dogma gereja karena ia tidak melihat ada kesinambungan rasio antara ajaran yang dijelaskan oleh pemegang otoritas gereja dengan realitas dalam kehidupan.
Akhirnya, Einstein menghindari ritual-ritual keagamaan sampai meninggal dunia.
Einstein menolak melakukan praktik-praktik ortodoks Yahudi ataupun agama tradisional lain.
Ia juga tidak mau hadir dalam layanan-layanan keagamaan. Dan, sikap itu tak pernah hilang, kata temannya, Philipp Frank. (Lihat Buku “Einstein Kehidupan dan Pengaruhnya bagi Dunia” karya Walter Isaacson).
Riset yang Mengundang Hidayah
Maurice Bucaille dikenal sebagai ilmuwan yang meneliti jasad Fir’aun. Ia merupakan ahli bedah asal Prancis yang lahir pada 19 Juli 1920.
Begitu mendapati fakta jasad Fir’aun dalam bentuk mumi mengandung garam, ia yakin bahwa Fir’aun mati tenggelam di lautan.
Masih merasakan kebimbangan, Bucaille pun menemui sejumlah ilmuwan autopsi Muslim.
Betapa ia hampir tak habis pikir, bahwa apa yang ia baru saja temukan, telah Allah kisahkan dalam Alquran.
Baca Lagi: Memupuk Akar Kesuksesan itu Keharusan
“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS. Yunus: 92).
Subhanallah. Demikianlah Islam yang menjadi sebab Allah menjadikan Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul.
Dan, sungguh tidak satu pun jiwa mencintai Nabi Muhammad SAW kecuali dalam kesadarannya tumbuh kuat energi untuk selalu menebar kebaikan. Entah manusia menghargai atau sebaliknya.
Baginya satu hal saja yang utama, yang penting Allah tidak murka kepada dirinya. Karena memang itulah yang umat Islam tangkap kala berkunjung ke Kota Thaif dan melihat keperkasaan Gunung Al-Hadda yang menjadi pendakian luar biasa Nabi untuk dakwah.
Hati ini seakan meleleh, ketika melihat bahwa perjalanan Nabi ke Thaif benar-benar sangat luar biasa.
Langkah kaki Nabi Muhammad SAW menaklukkan gunung gersang, terik dan terjal itu masuk dalam sanubari, karena memang butuh perjuangan ekstra. Semakin tak mampu menahan air mata, kala akhirnya, perjuangan keras itu, ternyata disambut pengusiran oleh kaum Thaif. Namun Nabi Muhammad SAW memaafkan mereka semua.
Apakah ada manusia semulia Nabi Muhammad SAW?*