Home Kajian Utama Nabi Adam dan Kita di Hari Raya
Nabi Adam dan Kita di Hari Raya

Nabi Adam dan Kita di Hari Raya

by Imam Nawawi

Hari Raya Idul Fitri 1444 H menerbangkan pikiranku ke masa Nabi Adam. Nabi Adam dan kita pada Hari Raya, penting jadi perhatian pada hari yang kita semua kembali kepada fitrah.

Apa sebab diriku terbang ke masa Nabi Adam tidak lain adalah pikiran dari Bertrand Russel, sosok besar dari Inggris itu memberi pandangan soal manusia.

Menurutnya manusia memang semakin cerdas, namun hingga ratusan ribu tahun belakangan kapasitas intelektual bawaan manusia tidak pernah bertambah.

Baca Juga: 3 Strategi Mencapai Impian Mewujudkan Cita-Cita

“Kemajuan yang semata-mata biologis ini, sepanjang yang dapat diketahui dari tengkorak kepala, sudah lama berakhir,” tegasnya. (Lihat buku “Pemikiran Bertrand Russel”).

Oleh karena itu Russel berpikir bahwa sebenarnya secara mental, antara kita yang hidup sekarang dengan manusia purba (dalam konsep peradaban Barat) yakni zaman batu tua (Paleolitikum) tidaklah berbeda.

Sayang Russel tidak mengenal Nabi Adam.

Sekiranya tahu mungkin Russel akan melihat secara terang bahwa sejak awal manusia itu terus modern. Namun secara mental, fitrahnya sama, butuh pada Tuhan, kebenaran dan kedamaian.

Beruntunglah umat Islam, mengenal manusia pertama bukan manusia purba apalagi kera. Tetapi manusia yang seutuhnya dan sesungguhnya, Nabi Adam ‘Alaihissalam.

Dakwah Peradaban

Namun pikiran Russel menarik kita beri perhatian. Umumnya orang memandang semakin waktu manusia semakin maju.

Itu tidak salah, tapi harus kita sadari, kemajuan itu lebih bersifat artifisial. Tidak substansial, seperti kata Russel yang tidak mengubah kondisi mental.

Manusia semakin digital juga tetap saja ada pemimpin yang bermental brutal.

Dalam era yang transparansi jadi tuntutan, tetap saja ada orang terasuki watak bangor dan bagak jadi koruptor.

Seperti tikus kantor, mereka senang berenang di sungai yang kotor. Begitu Iwan Fals memberikan gambaran.

Memperhatikan situasi seperti itu berarti kita membutuhkan yang namanya dakwah peradaban.

Yakni dakwah yang tidak saja menekankan penerapan ritual dan dogma agama, tetapi juga peradaban yang kuat asas teologinya, memakmurkan bangsa-bangsa di dunia. Begitu kata Prof Hamid Fahmy Zarkasyi.

Mengutip Seyyed Hossein Nasr, Islam itu menghasilkan peradaban yang melahirkan figur intelektual besar, penemu sains yang peduli terhadap kebaikan hidup umat manusia.

Sederhananya dakwah peradaban mengharuskan umat Islam mampu memanifestasikan hidup adil, beradab, amanah, ikhlas, ibadah dan lain sebagainya.

Tanpa itu, mungkin setiap orang Islam bisa membangun rumah dan masjid megah.

Tetapi tidak ada gairah hidup untuk jihad dan dakwah. Jika itu terjadi, maka sebenarnya kemajuan itu hanya materil, tetapi tidak dalam hal spiritual. Kata Nabi SAW, itu berarti sudah datang wabah bernama wahn (cinta dunia takut mati).

Idul Fitri

Ketika Idul Fitri kita maknai kembali kepada fitrah, maka tidak ada yang lebih utama dalam hidup insan beriman selain dari pada cinta dalam melakukan kebaikan-kebaikan.

Baca Lagi: Yang Membahagiakan

Nabi Adam itu secara hakikat baik. Tetapi ia terpedaya karena bujuk rayu setan.

Maka Idul Fitri sejatinya mengharuskan kita memiliki kewaspadaan kuat untuk tidak terjerembab pada fatamorgana.

Dan, bekal untuk mampu menghadapi jebakan setan itu kita telah miliki, karena Nabi Adam oleh Allah dibekali ilmu.

“Kalau kita mau memeranginya, setan pasti kalah.” Demikian tegas Rhoma Irama dalam salah satu lagunya.

Faktanya pun kita lihat, yang ikut angkara setan, akhirnya juga kalah oleh kebenaran. Tinggal kita mau pilih mana, menang dengan iman atau kalah dengan tanpa kehormatan?*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment