Tak seorang pun mampu mengendalikan orang lain, apalagi dalam hal kata-kata. Orang bisa seenaknya memberikan stigma negatif kepada siapapun, termasuk diri kita sendiri. Nah bagaimana menghadapi situasi seperti itu? Inilah 3 hal ini penting agar kita hidup dengan jiwa besar.
Pemahaman akan hal ini sangat penting agar pikiran-pikiran besar kita tidak layu karena ucapan buruk orang lain.
Kesadaran akan hal ini juga urgen agar kita tidak menjadi manusia yang hidup tanpa arah, sehingga kesana kemari tergantung bagaimana omongan orang lain. Padahal, belum tentu apa yang mereka ucapkan itu tepat, benar dan memberikan kebahagiaan hakiki.
Hal Pertama
Hal pertama yang kita harus miliki adalah menerima. Ya, menerima apapun itu, pahit, getir, dan memilukan, kita terima dengan sabar dan syukur.
Sabar dan syukur akan membuat diri kita memiliki sikap yang tepat, bijaksana dan benar.
Jadi, kita tidak menjadi ranting dan daun kering yang kala datang letupan api, langsung terbakar hangus. Tenang dan hadapi dengan kebijaksanaan.
Dengan begitu kita akan selamat dari merasa diri tetap terbaik, patut mendapat penghargaan dan sebagainya. Kita tidak boleh berpikir yang membuat posisi kita semakin ke kiri, akhirnya jauh dari poros kebenaran.
Baca Juga: Besar Berpikir dan Berjiwa Besar
“Sungguh indah dan menakjubkan urusan orang beriman. Sesungguhnya semua urusannya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang beriman. Bila tertimpa kesenangan ia bersyukur dan syukur itu baik baginya dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya.” (HR Muslim).
Hal Kedua
Hal kedua yang mesti menjadi pemahaman kita adalah bahwa marah, iri, dengki, atau hasad, adalah hal yang tidak perlu ada dalam diri kita. Sebab itu semua adalah induk dari berbagai dosa dan penyakit hati.
Betapa banyak orang kehilangan kebahagiaan karena selalu merasa iri dengan orang lain.
Begitu banyak orang gagal mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepadanya karena melihat nikmat yang menurutnya lebih besar Allah berikan kepada orang lain.
Orang yang berjiwa besar, tidak pernah iri apalagi sampai merasa terganggu dengan kehidupan orang lain. Malah kalau perlu, ia fokus mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada dirinya sendiri.
Dengan begitu seseorang akan selamat menjelek-jelekkan orang lain. Asalkan bukan diri sendiri, semua orang jelek, semua orang jahat dan semua orang tidak baik.
Hati-hati, perkara ini seperti biasa dan ringan.Namun kita mesti memahami bahwa amalan hati jauh lebih berdampak serius daripada amalan badan. Jadi, perhatikan betul masalah hati ini.
Hal Ketiga
Memahami bahwa kehidupan dunia bukanlah akhir. Agama memberikan panduan, “Ad-dunya mazra’atul akhirah” (Dunia tempat menanam untuk akhirat).
Jadi, berjuanglah menjadi manusia yang produktif dalam iman dan amal sholeh. Bahkan Allah menghendaki kita menjadi ahsanu amala, pribadi yang terbaik amalannya.
Bahkan dalam hal perkataan pun kita harus mengupayakan yang terbaik.
Pesan Nabi SAW jelas, “Berkatalah yang baik atau diam.” (HR. Muslim).
Baca Lagi: Berpikir Positif dan Teguh Pendirian
Tuntunan berbicara ini ada banyak ragamnya dalam Alquran. Misalnya kalau ada orang tua atau senior ingin memberi dorongan kepada anak atau juniornya, maka ia harus menggunakan kata yang lembut (Qaulan Ma’rufan).
Yakni perkataan yang anak-anak yatim dapat mengerti, menerima dengan senang hati. Artinya, jangan merasa senior dan punya otoritas kemudian menyebut juniornya dengan sebutan yang mencela dan meremehkan.
Sebaliknya, seorang junior kepada yang senior atau relasi anak kepada orang tua maka harus menggunakan metode Qaulan Karima. Kita memuliakan orang tua (senior).
Dengan demikian yang kita pahami tentang menanam untuk akhirat tidak selalu amal badan, termasuk amal lisan.
Nah, kalau kita mampu menjadi manusia yang lisannya mendorong motivasi orang lain hidup dan menghidupkan, maka kita telah menjadi manusia yang berjiwa besar.
Orang-orang yang seperti itu potensial menghadirkan generasi dengan jiwa besar pula.
Sebaliknya, kalau orang hidupnya dengan jiwa kerdil, maka ia akan semakin tua dan eksistensinya tidak bisa melahirkan anak-anak muda yang memiliki jiwa besar. Seiring dengan ketiadaannya, maka manusia dan alam pun melupakan orang-orang yang hidup dengan jiwa kerdil itu.*