Terus terang, sebagai anak bangsa, selalu ada lintasan dalam pikiran, bagaimana mewujudkan Indonesia jaya. Indonesia yang adil dan sejahtera.
Sebab ada banyak isu yang menurut saya tidak relevan dengan realitas inti kehidupan rakyat. Seperti isu terorisme, narkoba, dan orang gila yang belakangan kadang mendominasi pemberitaan media.
Bukan berarti saya menolak bahwa isu itu tidak ada. Secara fakta jelas ada, kalau tidak, mana mungkin ada beritanya.
Baca Juga: Indonesia yang Menantang
Akan tetapi saya rindu, kapan ada berita yang kemudian kita optimis sebagai rakyat. Misalnya, Presiden menetapkan Perpu percepatan pengentasan kemiskinan.
Ada ketetapan menteri yang mengatakan biaya kesehatan dan pendidikan rakyat seutuhnya gratis. Karena kekayaan alam Indonesia kini telah murni dikuasai negara. Misalnya.
Analisis Buya Syafi’i
Sore hari saya membuka laman Republika.id. Ketemu tulisan Buya Syafi’i (Ahmad Syafi’i Maarif) yang judulnya, “Ekstremisme dalam Sejarah Indonesia Modern.”
Pada intinya beliau menyampaikan bahwa sejarah Indonesia tidak ada relevansinya dengan ekstrimisme, karena memang Indonesia sebagai gagasan muncul pada akhir-akhir masa kolonial.
Perjuangan Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro dan lain-lainnya, bukanlah ekstrimisme.
Itu adalah cara mereka merespon penjajahan agar tidak merusak kehidupan masing-masing mereka dalam kerajaan dan buaya kala itu. Mereka belum punya ide tentang Indonesia.
“Semua kerajaan ini berdiri sendiri dan merdeka, karenanya tidak dapat dikategorikan sebagai Indonesia sifatnya, sebab gagasan tentang Indonesia baru muncul pada periode akhir sistem kolonial,” tulis Buya.
Indonesia sebagai negara, walau telah proklamasi pada 17 Agustus 1945 kondisinya belum benar-benar solid, perlu kita rawat bersama.
Oleh karena itu, Buya menegaskan bahwa musuh Indonesia bukan ekstrimisme.
“Maka musuh Indonesia di masa depan bukanlah ekstremisme, dari manapun asalnya, tetapi kegagalan negara mencapai tujuan Indonesia merdeka dan berdaulat berupa: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagai sila kunci dari Pancasila.”
Komitmen Keadilan Sosial
Mengacu pada uraian Buya Syafi’i maka sebenarnya yang sangat mendesak bagi seluruh elemen bangsa ini lakukan adalah menyadari bahwa komitmen menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial adalah agenda utama.
Kalau ini bisa menjadi arah dalam perjalanan ke depan bangsa Indonesia, maka kondisi yang lebih baik akan dapat sama-sama kita wujudkan.
Jika tidak, maka “gugatan” akan tegaknya keadilan akan terus muncul. Dan, jika negara lambat merespon, Kata Buya akan sangat berisiko.
Cepat atau lambat negara akan mengalami kelumpuhan, jika bukan keruntuhan.
Baca Lagi: Cepat Tapi Tak Hebat
Buya menegaskan, “Karena proses pembusukan dari dalam tidak kuasa dibendung oleh kekuatan-kekuatan formal yang masih saja main-main dengan negeri ini.”
Sebelum Buya, Ibn Khaldun telah memberikan saran, bahwa negara sebaiknya tidak terlibat dalam kegiatan ekonomi.
“Keterlibatan negara dalam ekonomi tidak saja akan menghalangi kesempatan rakyat untuk mendapatkan keuntungan (yang saat ini dikenal dengan istilah ‘crowding out’ atau mengacaukan sektor swasta), namun juga menurunkan penerimaan negara dari sektor pajak.” (Lihat Umer Chapra, “Peradaban Muslim Penyebab Keruntuhan dan Perlunya Reformasi).
Pesan Buya sangat jelas, “Semakin dekat kita kepada bangunan Indonesia yang berkeadilan, semakin sempit ruang gerak bagi kekuatan-kekuatan ekstrem yang selalu mengacau keadaan, dan begitu pula sebaliknya.”
Ibn Khaldun juga memberikan peringatan tegas bahwa negara itu tugasnya adalah menerapkan syariah (aturan yang sehat) kemudian menyediakan instrumen bagi percepatan pembangunan manusia dan kesejahteraan.
Jadi, menuju tahun politik, kepanasan yang ada jangan sampai membelah. Kita boleh tidak puas dengan kondisi yang ada, tetapi kepala yang kaya akan gagasan harus terus kita kuatkan.
Karena dari kesalahan sejarah bahkan hari ini, idealnya kita menjadi manusia yang siap mencerahkan masa depan Indonesia. Itulah Indonesia Jaya.*