Hari masih remang-remang namun kaki ini telah melangkah ke ruang yang Allah berikan kesempatan saya belajar dan sharing dengan generasi muda dari berbagai kampus baik yang di Jakarta maupun Depok.
Pemuda Hidayatullah DKI Jakarta sedang menggelar Leadership Training Center di Pesantren Hidayatullah Depok dimana saya menjadi salah satu instruktur yang diberikan amanah menyampaikan materi Literasi dan Lahirnya Syahadat.
Lokasi ini menjadi satu pilihan strategis agar transformasi tidak semata bernuansa intelektual tetapi juga spiritual. Terlebih satu materi bertemakan Literasi dan Lahirnya Syahadat.
Kebanyakan orang membaca hanya untuk membuka jendela dunia. Padahal Islam mendorong kita membaca untuk menyaksikan bahwa Tidak Ada Tuhan Selain Allah.
Baca Juga: Selalu Menimba Ilmu
Oleh karena itu membaca dalam Islam harus dengan Iqra’ Bismirabbik. Bukan membaca sekedar dengan reasoning ala Barat, tetapi dengan reasoning Ilahiyah, sehingga bacaan yang dihimpun memberi kekuatan untuk diri menjadi insan yang beradab.
Puncak pembacaan terbaik bisa dicapai manakala manusia membaca dengan Iqra’ Bismirabbik, sehingga sesgala sesuatu yang diamati, digali, diteliti dan dipikirkan serta ditindaklanjuti semakin menguatkan keyakinan bahwa dunia ini hadir atas kehendak Allah, yang Tidak Ada Tuhan selain Allah.
Bilal
Seorang peserta bertanya, bagaimana membangun kesadaran? Saya ajak dia dan semua peserta untuk melihat fakta sejarah bagaimana Bilal bisa mendapatkan hidayah dalam dirinya.
Secara sosiologis, Bilal ini bukan lagi dianggap manusia, karena dia budak. Seorang budak jangan dibayangkan bisa sekolah, hadir dalam training keilmuan saja dia dilarang. Tetapi, kala ia mendengar ayat bahwa Rabb itu menciptakan manusia dari segumpal dara, reasoningnya jalan.
Kalau manusia semua diciptakan dari segumpal darah, apa yang menjadikan saya harus berstatus budak dan diperbudak. Sedangkan orang lain menjadi tuan dan boleh memperbudak manusia. Ini jelas sebuah jalan pikiran yang salah.
Jadi, seharusnya saya mengikuti ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad itu. Jika tidak maka selamanya dunia ini akan membeda-bedakan manusia berdasarkan warna kulit, asal-usul dan lain sebagainya. Ini jelas cara hidup yang salah. Maka Bilal mantap memeluk agama Islam dengan penuh kesadaran, sehingga siksaan apapun tak mampu menggoyahkan keimanannya.
Komitmen
Problem terbesar generasi muda Islam adalah cenderung gemar pada hal yang tidak membangun kecerdasa dan membuang-buang waktu serta kesempatan.
Pertanyaannya bagaimana agar hadir kesadaran? Pikirkanlah tentang mengapa diri kita harus hidup dan dengan nama yang disandang. Itu adalah langkah paling sederhana untuk membangun tradisi berpikir sehari-hari.
Kalaulah nama seseorang itu Fauzan yang artinya kemenangan, bagaimana mungkin ia bisa tunduk oleh penindasan yang terjadi pada dirinya yang menjadikan semua waktu saat mata terjaga habis untuk main game online, misalnya.
Kalaulah seseorang itu bernama Aisyah, mengapa tidak ia berusaha untuk menjadi wanita yang cerdas dan sholehah. Dari sisi ini saja kita sudah bisa membangun nalar kebaikan.
Baca Juga: Jadilah Produsen Gagasan
Pertanyaannya, komitmen diri yang tampaknya masih lemah. Jika itu yang masih sulit diatasi, maka bacalah semangat orang-orang terdahulu di dalam berkarya.
Buya Hamka adalah salah satu contoh bagaimana komitmennya terhadap nilai-nilai Islam begitu kuat, bahkan dalam upaya itu ia harus rela mendekam di hotel prodeo, kala pendapatnya dengan Soekarno berbeda soal komunisme.
“Bagi saya, agama Islam tak dapat dicampur dengan komunis. Tidak mungkin,” kata Buya Hamka. Ini adalah komitmen. Dan, lihat bagaimana hasil kala Buya Hamka dipenjara, beliau mampu menuntaskan karya besar bernama Tafsir Al-Azhar.
Jadi, apakah masih sulit bagi kita membangun kesadaran beriman dan ber-Islam yang sungguh-sungguh?
Mas Imam Nawawi_Ketua Umum Pemuda Hidayatullah