Kalau kita sebut “meraih kekuasaan” sebagian besar orang akan ingat partai politik. Tetapi kalau kalimatnya menjadi “meraih kekuasaan yang mensejahterakan” jelas tak mudah orang menunjuk, partai politik mana yang kapabel.
Partai politik memang punya hak dan wajib menggunakan pemilu untuk memperoleh kekuasaan.
Tetapi, satu hal yang harus partai politik pahami dengan baik, cara meraih kekuasaan akan menentukan bagaimana mengelola kekuasaan.
Baca Juga: Muslim itu Memimpin
Dengan begitu orientasi partai politik dalam pemilu harusnya bukan sekedar menang. Tetapi bagaimana menang dengan bermartabat.
Mungkin selama ini berpolitik dengan “curang” atau “kepalsuan” dipandang jalan terbaik. Padahal, tidak mungkin seekor lalat menghasilkan madu. Dalam arti yang lain, kebodohan semata yang menganggap “curang” adalah jalan terbaik meraih kekuasaan.
Demokrasi
Pakar politik LIPI, Syamsuddin Haris (lihat buku Muhtar Haboddin “Pemilu dan Partai Politik di Indonesia) mengatakan bahwa pemilu dan partai politik bukanlah aksesoris pemerintahan. Tetapi lebih berupa keharusan dalam tata kelola politik demokrasi.
Itu berarti, kualitas demokrasi akan meningkat dan bermutu tinggi, kala partai politik dan sistem pemilu memang memastikan yang akan lolos dan menang adalah yang jujur, asli dan teruji.
Sementara itu rakyat harus benar-benar menjadi subjek penentu, menggunakan hak kebebasan, kerahasiaan dan kompetisi dalam memilih siapa yang akan menjadi wakilnya ke depan.
Entah mengapa belakangan politik menjadi sangat mahal, yang karena mahal kemudian sebagian orang memandang, curang adalah jalan kemenangan.
Inilah yang membuat demokrasi di Indonesia sekedar ada dan berjalan. Apakah berkualitas atau tidak, belum banyak yang peduli.
Jadi, kalau ada janji dan narasi mau maju, lihat saja dulu bagaimana partai politik bertanding. Kalau masih meyakini kecurangan sebagai jalan terbaik, itu jauh panggang dari api, namanya.
Polarisasi
Belakangan banyak elit mengatakan pemilu jangan pakai politik identitas agar tidak terjadi polarisasi.
Pesan itu harusnya mengarah ke pemimpin partai politik. Karena bagaimana sikap masyarakat, sangat dipengaruhi salah satunya oleh narasi yang partai politik bangun.
Lebih dari itu, partai politiklah yang menjadi aktor utama dalam kompetisi pemilu. Jadi, pengendalian moral terhadap partai politik akan jauh lebih efektif membaca arah gerak masyarakat dalam perpolitikan.
Semakin partai politik dewasa, memandang pemilu sebagai media adu data keberhasilan, secara bebas, fair, terbuka dan kompetitif, maka rakyat akan semakin cerdas.
Sebaliknya, kalau partai politik dalam kampanye dan “edukasi” politiknya menggunakan cara-cara tidak bermartabat, maka polarisasi bahkan kekacauan tidak bisa dihindari.
Baca Lagi: Kepemimpinan Tidak Gratis
Dan, itu bukan semata salah rakyat. Tetapi juga ada kontribusi aktor utama, yakni partai politik menjadi pemain dalam pemilu.
Jadi, daripada sibuk memikirkan rakyat akan terseret dalam polarisasi politik. Dari sekarang semua elit partai politik segera berbenah.
Jangan pernah meyakini jalan setan sebagai jalan keselamatan. Itu sama orang sakit yang ingin sembuh, tetapi lebih memilih racun daripada obat.*