Hampir tiga hari saya dan teman-teman Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah hadir di Soreang (6-8/9/22), Kabupaten Bandung. Agendanya hanya satu, yakni bagaimana bisa menyinggung (menyentuh) optimisme kaum muda.
Sebagaimana banyak orang perbincangkan, anak-anak muda saat ini seperti kehilangan spirit, turutan dan bahkan optimisme dalam dirinya.
Baca Juga: Adakah Pahlawan Hari Ini? – Mas Imam Nawawi
Kosa kata yang sering muncul dalam kalangan mereka biasanya adalah tentang overthinking, depresi dan kecemasan serta gangguan emosi. Mengapa itu terjadi?
Gagap Teknologi
Boleh jadi itu karena mereka gagap terhadap teknologi. Lingkungan belum mampu mengenali teknologi yang ada, sehingga sebagian anak muda larut dalam ragam “kenyamanan” semu internet; main game online salah satunya.
Sisi lain beragam konten yang tidak seutuhnya “jujur” kerap menyapa gadget mereka. Akibatnya mereka menjadi terguncang psikologinya, sehingga kerapkali cara berpikirnya pun menjadi zig-zag.
Belum lagi hadirnya aplikasi “komunikasi” pesan yang begitu mudah, menjadikan satu sama lain, termasuk lawan jenis sangat “intim” dalam pergaulan.
Akhirnya kecanggihan teknologi internet bukan membuat anak muda semakin cinta pada ilmu, sebagian besar malah semakin bingung dan rapuh dalam menghadapi realitas yang ada.
Literasi Sejarah
Menjawab itu semua, kaum muda harus kuat dalam hal literasi sejarah. Mengapa? Karena dari sejarah kondisi hari ini terjadi.
Ketertinggalan teknologi sebenarnya mudah untuk kita kejar. Tetapi ketertinggalan etos ilmu dan etos kerja keras, sulit untuk kita bangun dalam tempo yang singkat.
Oleh karena itu kaum muda perlu sentuhan literasi sejarah. Kita perlu hadirkan sosok-sosok pahlawan bangsa yang mereka hidup sederhana, di bawah tekanan penjajahan, tetapi sangat unggul dalam mental dan kecerdasan. karena itu mereka berani melawan penjajahan.
Sebut saja misalnya, M. Natsir dan AR Baswedan. Natsir sangat cerdas dan berani menghadapi segala tipu muslihat Belanda, sehingga ia mampu menjadi sosok yang terus menginspirasi bangsa ini.
Kemudian AR Baswedan. Juga sangat menginspirasi. Ketika AR Baswedan ke Mesir bersama Agus Salim, M. Natsir dan HM. Rasjidi, mereka berangkat dengan pakaian dan alas kaki seadanya.
Lukman Hakiem & Hadi Nur Ramadhan merekam dalam karyanya: “A.R. Baswedan Saya Muslim, Saya Nasionalis” menukilkan kisah kesederhanaan mereka.
Baca Lagi: Pantangan Bagi Pemuda – Mas Imam Nawawi
Empat pemuda bangsa itu hadir ke Mesir dengan pakaian sangat sederhana. Berbeda dengan penumpang pesawat lainnya kala itu sekitar April 1947. Paspor negara pun belum seperti umumnya, hanya berupa lembaran kertas biasa.
Namun, karena mereka punya visi akan Indonesia merdeka yang negara lain mengetahui dan mengakui, semua itu tidak menjadi kendala.
Dari secuil fakta itu, kaum muda hari ini perlu kita dekatkan dengan literasi sejarah, bagaimana pahlawan bangsa tidak pernah inferior menghadapi negara Belanda bahkan sangat superior (percaya diri) mengajak banyak negara di dunia ini mengakui kemerdekaan Indonesia.
Lepas saya sampaikan itu pada sesi penutupan agenda di Soreang, anak-anak muda itu mulai terarah pikirannya. Mereka menjadi optimis dan siap mengejar cita-cita untuk hadirkan maslahat di masa mendatang.*
Official Website Pemuda Hidayatullah | pemudahidayatullah.or.id