Teman-teman, mari sejenak menyegarkan pikiran bersama Mas Anies Baswedan melalui sebuah buku yang menarik tentang parenting. Kali ini, buku yang dibahas adalah Parenting Without Borders karya Christine Gross-Loh.
Buku ini mengajak pembacanya menjelajahi berbagai praktik pengasuhan anak di dunia, mulai dari Jepang, Swedia, Tiongkok, Finlandia, Prancis, hingga negara-negara lainnya.
Gross-Loh, seorang ibu dari empat anak yang pernah tinggal dan mengasuh anak di Jepang dan Amerika Serikat selama lima tahun. Hidup dengan kebiasaan mengamati, membuatnya mampu menawarkan sudut pandang yang kaya akan pengalaman lintas budaya dalam pengasuhan anak.
Mas Anies Baswedan melihat buku ini sebagai jendela untuk memahami bagaimana setiap negara memiliki cara unik dalam membesarkan anak, cara-cara yang mungkin terasa asing namun menarik untuk direnungkan.
Buku ini membuka mata kita bahwa pendekatan pengasuhan tidaklah seragam, melainkan sangat dipengaruhi oleh budaya dan nilai-nilai yang berkembang di masing-masing negara.
Praktik Pengasuhan di Berbagai Negara
Sebagai contoh, di Amerika Serikat, budaya pengasuhan menekankan pengawasan ketat dan perlindungan terhadap anak.
Berbeda dengan Jepang, di mana anak-anak usia enam tahun sudah biasa berjalan sendiri menggunakan transportasi umum.
Finlandia, yang terkenal dengan sistem pendidikannya, menyeimbangkan pencapaian akademik dengan waktu istirahat yang melimpah, memberikan anak-anak ruang untuk tumbuh secara holistik.
Cerdas Menginterpretasi
Dalam membahas buku ini, Anies Baswedan tidak hanya menyampaikan isi. Mas Anies juga memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana membaca dan menginterpretasi sebuah buku secara bijak.
“Meski buku ini bagus, kita tetap harus berhati-hati dalam menginterpretasikannya,” ujar Anies.
Baca Juga: Raih Berkah dengan Fokus Kebaikan
Menurutnya, setiap praktik pengasuhan berakar pada konteks budaya dan kondisi spesifik suatu bangsa. Apa yang berhasil di satu negara belum tentu relevan atau efektif jika diterapkan di negara lain, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, saat membaca, kita perlu memahami latar belakang budaya yang melandasi praktik-praktik tersebut dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai bangsa kita sendiri.
Mas Anies menegaskan pentingnya membaca tidak hanya untuk mendapatkan informasi, tetapi juga untuk mengasah nalar kritis. Membaca bukan sekadar menyerap, tetapi juga menganalisis, memahami asal-usul pemikiran, dan menempatkan diri dalam konteks pembahasan.
Refleksi untuk Kita
Buku ini, dengan segala kekayaan wawasannya, mengajarkan kita tentang keberagaman cara pandang dalam membesarkan anak.
Namun, melalui pembahasannya, Anies Baswedan juga mengingatkan kita untuk menjadi pembaca yang bijak—yang mampu memilah, memahami, dan menempatkan diri di tengah arus informasi.
Membaca bukan sekadar aktivitas, melainkan perjalanan menuju pemahaman.
“Saya sering mengatakan, adaptasi lebih penting daripada adopsi,” tegas Anies.
Dalam perjalanan ini, pikiran kita tidak hanya belajar untuk menyerap, tetapi juga untuk mempertanyakan, menganalisis, dan menciptakan perspektif yang lebih tajam.
Dan, seperti air yang mengalir membentuk sungai, nalar yang tajam akan mengukir jalan kebijaksanaan, memberikan kita panduan dalam membangun kehidupan yang lebih bermakna.
Jadi, mari membaca, tetapi juga merenung. Mari memahami dunia, tetapi tetap ingat dari mana kita berasal. Karena pada akhirnya, membaca adalah seni menjalin harmoni antara apa yang kita serap dan siapa diri kita untuk membentuk ide, gagasan atau cara baru dalam mengisi kehidupan.*