Mas Imam Nawawi

- Kisah

Menjelajahi Dunia Digital Bersama Anak: Sebuah Refleksi

Tanggal 14 Juni 2025 lalu, saya berkesempatan berbagi cerita dengan para guru dan wali murid di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Hasan Al-Banna, Pabuaran, Cibinong. Topik obrolan kami kali ini cukup menarik: bagaimana menyiapkan pendidikan anak di era digital yang serba cepat ini. Saya memulai dengan mengajak para peserta untuk memahami “dunia digital” itu sendiri. […]

Dunia Digital

Tanggal 14 Juni 2025 lalu, saya berkesempatan berbagi cerita dengan para guru dan wali murid di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Hasan Al-Banna, Pabuaran, Cibinong. Topik obrolan kami kali ini cukup menarik: bagaimana menyiapkan pendidikan anak di era digital yang serba cepat ini.

Saya memulai dengan mengajak para peserta untuk memahami “dunia digital” itu sendiri. Boleh jadi kita sering mengucapkan frasa ini, tapi apa sebenarnya maknanya?

Seringkali kita hanya melihat permukaannya, seperti layar smartphone atau komputer yang kita gunakan setiap hari. Padahal, dunia digital itu jauh lebih luas dan dalam.

Bayangkan dunia digital sebagai sebuah ekosistem raksasa, seperti sebuah kota bawah laut yang terus berkembang. Di sana ada jalan-jalan berupa jaringan internet, bangunan-bangunan tinggi berupa platform media sosial dan situs web, serta kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang berupa informasi dan data.

Kita berinteraksi dengan kota ini melalui aplikasi di ponsel, game di konsol, atau email yang kita kirim. Intinya, dunia digital adalah ruang interaksi yang terbentuk dari teknologi komputasi dan jaringan, tempat informasi dan komunikasi mengalir tanpa batas fisik.

Ia adalah lingkungan baru di mana anak-anak kita tumbuh dan belajar, dan memahami arsitekturnya adalah langkah awal bagi kita untuk membimbing mereka.

Dunia Digital Ibarat Pisau

Ibarat pisau bermata dua, dunia digital memang punya sisi yang menakutkan—banyak ancaman yang bisa merusak. Namun, kita juga tak bisa mengabaikan segudang manfaat yang bisa kita petik darinya.

Kuncinya? Bukan menghindari, melainkan menguasainya.

Kita sebagai orang dewasa harus punya kecerdasan dan kompetensi diri yang mumpuni agar bisa mengarahkan dunia digital ini dengan bijak. Jangan sampai kita takut pada bayangan sendiri!

Peran Penting Keakraban Hati di Era Digital

Namun, ada hal yang jauh lebih mendasar dan krusial: memperkuat ikatan hati antara anak, guru, dan orang tua.

Mengapa? Karena sejatinya, mendidik itu bukan sekadar mentransfer ilmu, melainkan menanamkan misi kebaikan dalam diri anak-anak kita. Seperti seorang pelukis yang sedang menorehkan warna di kanvas kehidupan, kita sedang membentuk karakter dan tujuan hidup mereka.

Jadi bangunlah komunikasi yang mendalam, dari hati ke hati dengan anak. Mereka memang masih kecil. Tapi itu fakta sementara. Seiring waktu mereka akan dewasa, seperti kita: orang tua.

Membentuk Anak dengan Misi Mulia: Bukan Sekadar Hidup

Sebagai orang tua, seringkali kita cemas tentang masa depan anak, “Nanti anak saya makan apa ya?”

Padahal, pertanyaan yang lebih penting adalah, “Nanti anak saya akan hidup dengan membawa misi apa?”

Dalam Islam, misi itu jelas: rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam) dan kaffatan linnas (menyelamatkan seluruh manusia). Anak-anak yang tumbuh dengan misi mulia ini akan menjadi problem solver masa depan, cahaya yang menerangi jalan bagi banyak orang, dan bukan hanya sekadar mengikuti arus.

Saya bersyukur, diskusi kami berjalan lancar. Para guru begitu antusias membagikan ide dan gagasan, membuat saya semakin termotivasi untuk terus merenungkan tantangan pendidikan anak di era digital ini.

Sungguh, perjalanan mendidik di era ini adalah sebuah petualangan yang tak pernah berhenti. Menuntut kita semua terus memahami dan mengamalkan perintah Allah yang pertama dan utama, Iqra Bismirabbik.*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *