Mari kita bertanya dalam hati. Apakah orang yang menerima kedudukan (tanpa integritas) dan bisa menghimpun kekayaan bagi dirinya adalah orang yang hidupnya penuh makna?
Apakah orang yang hidup biasa saja, makan dan minumnya sederhana, tapi ia memperoleh itu dari hasil keringatnya sendiri adalah orang yang hidupnya bermakna?
Walakin dalam situasi hidup seperti sekarang, meski yang sederhana adalah hidup yang penuh makna, sebagian besar manusia sepertinya ingin pada kondisi hidup mendapat jabatan atau kedudukan secara instan.
Hal itu karena paradigma materialisme begitu luas menjangkiti kesadaran banyak orang.
Tak Ada Makna dalam Materialisme
Paradigma materialisme menjadikan orang cenderung percaya bahwa kebahagiaan dan kesuksesan dapat diukur dengan seberapa banyak yang mereka miliki—baik itu uang, barang, atau status sosial. Keinginan untuk memperoleh lebih banyak sering kali menjadi dorongan utama dalam hidup mereka.
Selain itu, orang yang menganut materialisme sering melihat dunia hanya dari perspektif yang dapat dijelaskan oleh sains dan hukum fisika. Mereka cenderung meragukan atau menolak konsep-konsep non-fisik seperti jiwa, kehidupan setelah mati, atau entitas spiritual lainnya. Termasuk bagaimana hidup penuh makna.
Hidup Penuh Makna
Seseorang mungkin akan senang dengan kekayaan yang ada. Namun bagaimanapun hidup penuh makna jauh lebih membahagiakan. Hal ini karena manusia bukan hanya entitas fisik, tetapi juga ruhani.
Salah satu cara membangun hidup penuh makna adalah memiliki tujuan hidup yang jelas. Kita tahu, kita ada dalam dunia ini adalah untuk menjadi hamba Allah dan khalifah-Nya.
Artinya kita mengukur bahwa setiap langkah yang kita ambil adalah pengejawantahan dari status kita sebagai hamba dan khalifah Allah. Manusia memang bukan hamba uang dan budak kekayaan.
Dalam skala implementasi, berarti bahwa setiap individu mencari dan menciptakan arti dalam kehidupan mereka, baik melalui hubungan, pekerjaan, maupun kontribusi pada masyarakat.
Hidup yang penuh makna bukan sekadar tentang pencapaian materi atau kesenangan sementara, tetapi juga tentang memberikan dampak positif, baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Dari perspektif sosiologis, hidup penuh makna berhubungan dengan kontribusi individu terhadap masyarakat dan bagaimana hubungan sosial membentuk identitas seseorang.
Merakit Kebaikan
Bisa kita simpulkan, hidup penuh makna adalah hidup yang seseorang mau memberi, membantu dan menebar manfaat. Kehadirannya selalu memberi kontribusi bahkan legacy. Pendek kata, orang yang hidupnya penuh makna selalu sibuk untuk merakit kebaikan demi kebaikan.
Orang yang mampu fokus dan membangun kebiasaan merakit kebaikan atas dasar iman ia akan punya akhlak. Yakni sikap hidup yang otomatis baik dan pasti benar.
Dan, orang yang seperti itu biasanya akan selalu tenang menjalani hidup. Kemudian tentram jiwanya. Karena ia tidak bisa terusik oleh apapun yang terjadi secara eksternal. Ia punya fokus bagaimana bisa bermanfaat. Ia mengutamakan makna daripada kesan fana.*
Teman-teman juga dapat mengikuti Saluran WA Mas Imam Nawawi di sini