Senja mulai tak tampak. Awan pekat telah menutup semua celah. Cahaya keemasan matahari tak bisa manusia intai dari bumi. Tapi bersama rintik hujan yang turun dengan manja, saya menemukan ungkapan menarik: “Jelas dengan begitu semu orang merasa berarti”.
Itu adalah ucapan Jeff Shockey yang saya temukan ketika mata menyapu halaman ke-125 dari buku “The Power of Habit” karya Charles Duhigg.
Lengkapnya begini. Jeff Shockey baru saja jadi manajer pabrik, eksekutif Aloa. Pada hari pertama kerja, ia melihat ke lokasi parkir. Di sana tertera tulisan jabatan orang yang posisi parkirnya bagus, dekat pintu-pintu depan. Kepala ini, kepala itu, begitu bunyi tulisannya.
Shockey tampak tak sependapat dengan realita itu. Dengan kewenangannya ia meminta manajer perawatan sarana menutup semua tulisan jabatan di lokasi parkir itu.
Lalu ia berkata, “Saya ingin siapa pun yang sampai paling dulu yang dapat tempat terbaik. Semua orang memahami pesannya: setiap orang berarti.”
Menghapus Gelar, Menguatkan Arti
Banyak tempat menyambut orang dengan gelarnya. Tapi jarang yang menyambut orang dengan penghargaan atas akhlaknya. Mungkin karena gelar lebih mudah kita cetak daripada karakter yang sungguh-sungguh baik.
Bahkan setingkat universitas pun kini seakan-akan tak lagi mampu mencetak manusia berakhlak. Problem yang menyiksa sebagian besar masyarakat sekarang ini. Seringkali karena manusia bergelar, tapi tak punya akhlak yang baik.
Apa yang Shockey lakukan penuh dengan pelajaran. Bukan sekadar soal parkir sebenarnya.
Ia sedang menghapus simbol keistimewaan palsu. Ia ingin orang-orang tahu, bahwa bukan tulisan di papan parkir yang membuat seseorang layak orang hargai. Tapi ketepatan waktu, kedisiplinan, dan penghormatan terhadap sesama.
Orang mulai menangkap, bahwa gelar dan jabatan kadang seperti cat berkilau yang mewarnai permukaan tembok. Semua itu bisa luntur, bisa berganti. Tapi nilai, ia tertanam. Dan tak butuh nama besar untuk orang lain mengenali.
Kemajuan Dimulai dari Rasa Dihargai
Kalau kita cermati, mau tempat kerja, sekolah, atau bahkan masyarakat—betapa banyak orang yang bekerja keras tapi merasa tak pernah cukup berarti. Karena sistem hanya menyoroti siapa yang paling tinggi, bukan siapa yang paling tulus.
Padahal, perubahan besar sering dimulai dari rasa dihargai.
Seseorang yang merasa diperlakukan adil akan bekerja dengan hati. Dan hati yang dilibatkan, selalu menghasilkan lebih dari sekadar hasil. Ia meninggalkan kesan.
Kemajuan bukan milik segelintir orang hebat. Tapi milik mereka yang mampu membuat orang lain merasa penting. Tanpa harus jadi yang paling atas, tanpa harus dipanggil dengan gelar.
Lebih jauh kalu kita renungkan, yang paling kita butuhkan bukan tempat parkir yang dekat, tapi tempat di hati orang lain yang merasa kita tak membedakan.
Sepertinya, meski bahasan kita kali ini singkat, pesannya sangat menyengat. Kita adalah manusia, nilainya pada akhlak. Bukan gelar, jabatan apalagi hanya kekayaan.
Pertanyaannya, apakah ada pemimpin negeri yang bisa seperti Jeff Shockey. Minimal ikuti langkah kecilnya, hapus papan parkir karena orang punya jabatan.*