Saya sebenarnya sudah lelah malam itu (12/2). Namun, beberapa buku yang sempat saya ambil membuat pikiran kembali segar. Mata yang hampir terpejam, kembali terbuka. Pikiran saya mulai merenungkan satu hal: bagaimana kita tetap bisa menjadi pribadi yang cerdas dan bermanfaat di era digital?
Era digital hadir dengan derasnya arus informasi. Konten datang silih berganti, begitu cepat, begitu masif. Bahkan, banyak yang sudah diolah oleh kecerdasan buatan (AI). Tanpa permisi, informasi hadir setiap saat, meski kita sedang tidak ingin tahu apa pun.
Sementara itu, manusia membutuhkan ilmu, keterampilan, dan kebaikan. Semua ini tidak bisa diperoleh secepat konten digital. Ia butuh waktu, ketekunan, dan kesabaran.
Seperti masa lalu, ketika manusia harus berburu, mereka butuh waktu untuk benar-benar memanfaatkan setiap peluang dengan maksimal.
Cerdas Digital
Dalam dunia yang serba cepat ini, kita memerlukan kecerdasan memilih. Seperti yang dikatakan Paul Leonardi dan Tsedal Neeley dalam The Digital Mindset, kita harus tahu kapan percaya dan kapan tidak terhadap informasi yang beredar, terutama yang dihasilkan oleh AI.
Kita harus memiliki keterampilan memeriksa dengan cermat dan bijak. Memilah mana informasi yang berguna, mana yang sekadar umpan klik. Mana yang ditulis manusia dengan sepenuh hati, mana yang hanya sekadar hasil kalkulasi algoritma.
Kerjasama Manusia – Mesin
Satu hal yang pasti, kita kini hidup di era di mana manusia tidak hanya harus bekerja sama dengan sesama, tetapi juga dengan mesin.
Mesin hanya memahami arahan yang jelas. AI tidak memiliki emosi, tidak merasakan kehangatan manusia. Ia hanya bekerja berdasarkan data dan perintah.
Ketika ada video, seorang ulama menjual produk obat, sudah pasti itu hasil kerja AI. Pun begitu, ketika ada bayi berkelahi dengan seekor kucing, itu juga hasil AI. Kita akan kagum, tapi apa setelah itu?
Maka dari itu, era digital menuntut kita untuk tidak reaktif, tidak mudah tersulut oleh segala sesuatu yang muncul di layar.
Kita perlu lebih mengenali, lebih memahami: mana yang benar-benar memiliki makna, mana yang hanya sekadar produk mesin.
Biarkan orang lain terpesona dengan kinerja AI. Namun, sebagai manusia, kita tetap butuh interaksi yang lebih dalam.
Kita butuh nilai-nilai transendental: saling menghargai, saling menguatkan, dan saling berbagi untuk menciptakan kebaikan yang lebih bermakna. Itu yang AI tidak miliki.
Oleh karena itu, kita tetap butuh untuk membaca buku dengan baik. Lebih-lebih Alquran, kita harus mendekatinya dengan pendekatan interaksi dialogis secara intelektual dan spiritual.
Langkah itu kita butuhkan, agar kita yang manusia tidak terseret menjadi makhluk yang kemesin-mesinan. Tidak lagi bisa memandang hidup, kecuali hanya dengan data. Padahal tak setiap data benar-benar layak jadi landasan mengambil keputusan.*