Sekalipun orang bisa tersenyum dan bahkan tertawa, belum tentu orang itu bisa menjadi bahagia. Mengapa?
Menurut buku “Berani Tidak Disukai” hal itu karena orang masih menggantungkan kebahagiaan dirinya pada pandangan, komentar, respon atau pun penilaian orang lain.
Kata buku itu, “Kebahagiaan harusnya tidak bergantung pada pandangan orang lain. Tapi sayangnya kita sendiri merasa lebih bahagia saat disukai oleh orang lain.”
Lebih jauh sang penulis bertanya apakah kebahagiaan akan berbeda kalau foto seseorang di IG mendapat 100 atau bahkan 1000 like?
Itulah yang jadi bahasan utama dari buku “The Courage To Be Disliked” karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga.
Baca Juga: Bahagia Menurut 1000 Orang Lanjut Usia di Amerika Serikat
Kita harus mengerti bahwa kita bahagia karena kita berada dalam kebenaran, kebaikan dan tentu saja kemaslahatan. Bahwa ada pihak yang tidak menyukai apa yang kita lakukan dan rasakan, biarlah itu jadi urusan mereka. Tidak perlu kita ubah kebahagiaan diri hanya karena mengharap konfirmasi orang lain, siapa pun itu.
Batasannya bagi kita yang Muslim sederhana, sejauh yang membahagiakan kita itu bukan dosa dan hal yang sia-sia, maka teruskan. Tetapi kalau diri dalam kekeliruan, maka nasihat dari orangtua, teman dan guru, penting untuk kita perhatikan dan jalankan.
Berani
Menjadi bahagia syaratnya satu, berani. Berani berpikir lurus, tegak dan benar. Hal itulah yang para Nabi dan Rasul lakukan.
Sekalipun raja yang mendustakan risalah dakwah, para kekasih Allah itu tidak mundur, apalagi mengubah pandangan hidupnya.
Betapapun orang sekeliling berbuat zalim kepada Nabi Yusuf, putra Nabi Ya’kub itu tidak pernah putus asa. Ia yakin, mimpinya benar. Karena itu syarat untuk menang adalah konsisten dalam kebenaran.
Akhirnya apa yang terjadi? Kala masa tua, mereka yang zalim menderita, Nabi Yusuf hidup sangat bahagia. Itulah buah iman, kesabaran dan konsistensi, serta kesyukuran kepada Allah Ta’ala.
Nah, kisah perjalanan para Nabi dan Rasul bisa jadi jalan kita untuk menjadi pribadi yang berani. Berani menghadapi kesulitan. Tidak takut terhadap tantangan. Selalu berupaya mengatasi problem yang terjadi. Itulah pribadi berani. Biasanya orang seperti itu adalah orang yang memiliki keteguhan iman.
Atasi Trauma
Seringkali orang sulit menjadi bahagia karena trauma. Trauma sudah pasti berhubungan dengan masa lalu, itulah pengalaman. Tetapi tidak ada sebuah kepastian bahwa pengalaman pasti menghasilkan keberhasilan atau ketidakberhasilan.
Tugas kita adalah menghadapi hari ini dengan baik, sukses dan berhasil menjadi bahagia. Oleh karena itu, jauhkan trauma dalam hidup ini. Jangan sampai trauma mengintervensi cara kita berpikir.
Kita harus memastikan bahwa apa yang kita lakukan hari ini adalah jalan terbaik untuk menjadi bahagia. Optimis dan tekun melakukan hal-hal baik. Kemudian siap menghadapi realtias dengan kekuatan iman, ilmu dan amal.
Kata buku itu, “Kamu tidak ditentukan oleh pengalamanu. Tapi dari arti yang kamu berikan pada pengalaman-pengalaman itulah yang menentukan kondisimu saat ini.”
Saya sering bertanya nama seseorang. Ketika namanya ia tahu artinya, saya meminta ia mendesain spirit hidup sesuai namanya. Misalnya namanya “Shabirin,” maka ia harus selalu optimis, karena orang sabar selalu Allah temani.
Sebaliknya kalau seseorang tidak tahu arti namanya, seperti “Gisto” maka saya meminta ia memberi arti atau makna poisitif pada namanya sendiri. Hal itu agar diri memiliki semangat tinggi untuk menjadi orang yang bahagia.
Baca Lagi: Mengisi Hari dengan Kebahagiaan
Tetapi, sebagai Muslim, kita harus selalu ingat, orang yang bahagia dalam Islam adlaah yang selalu membersihkan jiwanya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menginfakkan sebagian dari hartanya kepada sesama yang membutuhkan.
Ya, kalau sekarang saya ulas buku itu, lebih sebagai sebuah media sederhana untuk kita mengetahui bahwa ajaran Islam itu sempurna. Tapi kadangkala kita lupa dengan Islam yang kita yakini sendiri. Bukankah begitu?*