Menjadi idealis, bagi sebagian orang kesannya agak kurang menarik, untuk tidak mengatakan rugi. Sebab realitas seringkali berpihak kepada yang mau pragmatis.
Sebenarnya kalau kita dalami, kesan seperti itu muncul karena cenderung banyak orang menilai apapun dengan timbangan materi, keuntungan pribadi.
Akibatnya, kalau sebuah nilai dipegang teguh dan secara empiris tidak mendatangkan kekayaan, rasa-rasanya idealisme itulah yang salah.
Baca Juga: Gejolak Anak Muda
Padahal yang sebenarnya terjadi, idealisme itu belum menancap kuat dalam sanubari. Buktinya, hati dan akal mudah sekali guncang karena soal hitung-hitungan tentang keuntungan materi.
Daya Tahan Sahabat Nabi
Mari kembali kita menengok satu peristiwa di masa Nabi SAW. Suatu waktu orang-orang miskin datang mengadu kepada beliau. Bukan mengeluh soal kurang uang karena miskin.
Walakin mereka mengadu soal amalan yang orang kaya bisa lakukan (sedekah). Sedangkan mereka yang miskin tidak mampu mengamalkannya. Maka bagaimana orang miskin tidak tertinggal dalam kebaikan sebagaimana sedekah orang kaya.
Nabi SAW menjelaskan bahwa setiap tasbih, tahmid dan tahlil yang orang miskin ucapkan, itu adalah sedekah.
Dalam kata yang lain, tidak ada hambatan bagi orang miskin punya amalan yang pahalanya senilai sedekah orang kaya.
Peristiwa itu menunjukkan bahwa kemiskinan bukan sebuah kondisi yang menyebabkan hati mereka terganggu. Bahwa ada kesulitan karena miskin itu pasti. Akan tetapi mereka lebih berharap pada kehidupan akhirat. Oleh karena itu fokus mereka bagaimana terus beramal.
Menurut Gus Baha, amal shaleh tidak benar jika kita kompensasi dengan keuntungan materi. Hidup ini adalah soal idealisme. Dan, idealisme tertinggi adalah iman kepada Allah SWT. Artinya kita tidak meminta balasan, kecuali kepada-Nya.
Miliki dan Kuatkan
Dengan demikian tugas anak muda adalah memiliki idealisme kemudian menguatkannya.
Sekarang mari kita lihat dalam sosial empiris. Ketika mahasiswa tak punya ruang menumbuhkan idealisme dalam dirinya dalam ruang kampus dan perkuliahan, mereka dilarang demo dan seterusnya. Maka mahasiswa akan mudah sekali menjadi pelaku tawuran, pergaulan bebas, narkoba, bahkan pembunuhan.
Mahasiswa akan lupa fungsi pentingnya sebagai pengontrol sosial, penjaga moral bangsa, penyeru kebenaran, semua lenyap dalam sekejap.
Menariknya, cara paling awal untuk menjaga idealisme adalah dengan meningkatkan literasi. Literasi pergerakan, keorganisasian, penguatan pengamalan spiritual dan tentu saja interaksi dengan mereka yang punya cita-cita mulia.
Pemuda butuh sedikit bersabar untuk idealismenya tumbuh, maka pada masa depan dirinya akan tumbuh sebagai pemimpin yang menginspirasi. Tetapi kalau pemuda tidak sabar, menjual idealismenya sekarang, ke depan tak ada lagi jejak-jejak kebaikan yang dapat dijadikan sumber inspirasi dan gerak generasi muda.*