Home Opini Menimbang Kecurangan Pemilu
Menimbang Kecurangan Pemilu

Menimbang Kecurangan Pemilu

by Imam Nawawi

Mungkin sebagian orang bosan melihat berita kecurangan pemilu. Banyak diulas tapi sepi tindakan, bahkan tampak tidak akan jelas. Namun dalam momentum seperti itu saya melihat perlu kita menimbang kecurangan pemilu.

Kita mulai dari sisi sejarah. Gelombang demokratisasi merambah dunia sejak 1970-an. Itulah catatan Huntington yang Burhanuddin Muhtadi kutip dalam bukunya “Kuasa Uang.”

Sejak itu, pemilu (pemilihan umum) telah menjadi norma masyarakat global. Lebih dari 90% negara di dunia telah menjadikan demokrasi (pemilu) sebagai jalan memilih pemimpin.

Namun, kecepatan demokrasi dalam mewarnai sistem kepemimpinan tingkat negara bukan tanpa cacat.

“Demokrasi elektoral masih banyak menyisakan problematik kebebasan sipil dan lemahnya penegakan hukum,” tulis Burhanuddin (halaman:1).

Namun sekarang masalahnya sudah berjibun dan tampak sulit kita atasi soal kecurangan ini.

Kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif, menjadikan gelaran pemilu tidak total mendapat legitimasi rakyat.

Syamsuddin Haris dalam buku ‘Kecurangan dan Perlawanan Rakyat dalam Pemilihan Umum 1997″ menjelaskan bahwa kecurangan telah massif, hingga ke TPS.

“Kecurangan yang dilakukan para aparat pemilu di TPS adalah dorongan dari kepala desa dan camatnya masing-masing. Kepala desa dan camat mendapat dorongan, iming-iming yang menarik sekaligus dihadapkan resiko buruk yang bakal menimpanya jika Golkar mengalami kekalahan di wilayahnya.” (lihat halaman: 87).

Baca Juga: Desain Politik 2024

Tampaknya Indonesia pada pemilu 2024 telah dan tengah berada dalam situasi dan kondisi tersebut. Dan, hingga kini masih tidak ada kejelasan berupa keputusan pasti. Benarkah ada kecurangan atau kah kecurangan itu ada namun tidak membatalkan hasil pemilu.

Demokrasi Palsu?

Burhanuddin meneruskan uraiannya.

“Jika ajang pemilu multipartai diwarnai berbagai kecurangan dan malpraktik elektoral, kualitas demokrasi menjadi bermasalah.

Praktik jual beli suara-pertukaran keuntungan materiel untuk mendapatkan, atau setidaknya mengharapkan, suara-merupakan- salah satu bentuk manipulasi elektoral yang lazim dijumpai di negara-negara demokrasi baru.”

Nah, apakah Indonesia ini negara demokrasi lama atau baru? Jika baru, maka jelas posisinya masih rentan dengan kecurangan.

Bukti

Kerentanan demokrasi Indonesia terhadap kecurangan terlihat dari sikap sebagian politisi yang menilai upaya-upaya pasca pemilu: gugatan yang tidak ke MK sebagai bentuk emosional karena kalah pemilu 2024.

Pandangan itu menunjukkan bahwa mereka yang tidak sependapat selalu memandang bahwa demokrasi tidak harus berkualitas, tapi demokrasi asal jalan saja.

Kita tentu tidak bisa menuduh begitu saja bahwa A telah curang. Akan tetapi beberapa proses pra pilpres 2024 mengundang orang berasumsi bahwa pemilu 2024 telah dalam pengkondisian yang tidak biasa, itulah tampak curangya dalam asumsi sebagian besar masyarakat.

Baca Lagi: Muhasabah Politik Umat

Jadi, kalau kita ambil kesimpulan cepat, sistem demokrasi yang ada belum mendapat warna dari aspek nilai kemanusiaann. Dengan demikian etika dan moral mereka nilai tidak penting.

Faktanya, kini mulai banyak orang yang menganggap politik itu tentang bagaimana berkuasa.

Padahal harusnya politik dalam demokrasi adalah perihal bagaimana berkuasa dengan beradab. Inilah yang kita perlu dorong ke depan, sistem demokrasi yang tak sekadar mekanisme, tetapi juga punya jiwa sekaligus visi.*

Mas Imam Nawawi

 

Related Posts

Leave a Comment