Menikmati aktivitas menulis seperti main game, apakah bisa?
Sebenarnya manusia itu hanya akan melakukan apa yang oleh jiwanya cintai. Kenapa ada orang berjam-jam rela duduk terpaku, memancing di kolam?
Termasuk dalam dunia sekarang, mengapa ada anak-anak, remaja, bahkan dewasa rela pula berjam-jam main game?
Baca Juga: Menulis untuk Bermanfaat
Lalu mengapa tidak untuk aktivitas menulis?
Ini boleh jadi pertanyaan yang mengarah ke pribadi kita, bisa juga lebih luas untuk menyadarkan kehidupan bangsa kita.
Sebuah artikel menerangkan bahwa buku yang beredar di Indonesia, setiap tahunnya berkisar 50.000 judul. Banyak?
Angka itu ternyata setara dengan jumlah judul buku yang beredar di Malaysia dan juga Vietnam.
Kalau kita perhatikan jumlah penduduk Indonesia dengan Malaysia dan Vietnam, jelas angka judul buku dalam negeri mestinya tidak setara dengan Malaysia atau Vietnam.
Artikel itu juga mengatakan bahwa pada 2016 jumlah jurnal internasional hasil karya doktor dan profesor Indonesia hanya 9.000 judul pertahun.
Malaysia, doktor dan profesornya menulis jurnal internasional sebanyak 23.000 judul pertahun.
Saat itu (2016) jumlah doktor Indonesia sejumlah 31.000 orang. Kalau satu-satu aktif menulis, harusnya ada 31.000 judul. Faktanya hanya ada 9000. Berarti sebanyak 22.000 doktor tidak menulis karya ilmiah dalam jurnal internasional.
Nikmat Menulis
Menulis sejatinya keaktifan yang sangat nikmat. Terlebih kalau aktivitas itu hadir karena kesadaran iman dan keterpanggilan untuk ikut berkontribusi pada pembangunan narasi dan literasi. Sungguh, menulis itu nikmat sekali.
Katakanlah seseorang belum menjadi penulis top, yang dengan itu mudah mendapatkan rezeki. Menulis tetap memberi begitu banyak keuntungan.
Pertama, menulis menjadikan waktu yang Allah berikan berdaya guna bagus, baik bagi diri maupun orang yang membaca.
Kedua, menulis menjadikan seseorang butuh membaca. Bukankah membaca (Iqra) itu perintah Allah yang pertama kepada Rasulullah SAW?
Ketiga, menulis membuat kita tidak mudah terpengaruh informasi yang beredar begitu saja. Karena tulisan kita harus melalui proses berpikir, yang tentu saja harus siap untuk mendapat kritik atau bahkan perlawanan.
Akan tetapi sejauh kuat data dan referensi, itu akan membuat diri kaya, sehingga jiwa mampu mendorong lahirnya sikap bijaksana.
Tentu masih ada lagi keuntungan dari kegiatan menulis. Kalau kita tarik dalam garis spiritual, menulis memudahkan kita “melaporkan” agenda diri kepada Tuhan, bahwa waktu dan kesehatan yang Allah berikan, telah saya gunakan untuk kegiatan menulis.
Seperti Game
Lalu mana penjelasan menulis senikmat main game?
Buya Hamka mengatakan, bahwa manusia adalah budak kebiasaan.
Artinya, secara langsung, kita harus mendesain diri akrab, senang, dan terbiasa dengan aktivitas menulis itu sendiri.
Baca Lagi: Menulis itu Memulai
Jung Wooyul penulis buku “Who Are You?” mengatakan bahwa manusia adalah apa yang biasa ia lakukan.
“Apakah kau tahu, barang yang kau miliki, kebiasaan, dan tindakan sehari-hari yang tak kau sadari ternyata biasa menjadi petunjuk isi hati dan kepribadianmu.”
Artinya, kalau kita berusaha membangun kebiasaan dan kesenangan dengan kesibukan menulis, maka itu sama dengan kita membangun kekuatan diri dan kebermanfaatan diri untuk kehidupan, kini dan pada masa depan.
Lebih jauh dalam tataran iman, kalau tulisan kita jadi ilmu bagi satu orang saja pembaca, lalu ia berubah dan menjadi orang yang gemar amal sholeh, maka itu akan jadi ilmu yang bermanfaat.
Kita tahu, ilmu yang bermanfaat, memunculkan pahala yang mengalir tiada henti, meski jasad seseorang telah berada dalam bumi, hingga akhirnya Allah bukakan jalan ke surga.
Kalau sudah bicara surga, lalu menulis bisa jadi salah satu jalan, masihkah kita tidak tertarik menulis untuk kebaikan bahkan peradaban?
Ekstrimnya apakah bermain game lebih baik, lebih asyik, daripada menulis yang terbuka peluang besar masuk surga?
Mas Imam Nawawi