Home Kisah Mengisi Lebaran dengan Penerbangan Panjang
Mengisi Lebaran dengan Penerbangan Panjang

Mengisi Lebaran dengan Penerbangan Panjang

by Imam Nawawi

Alhamdulillah. Itu kata paling patut kuucapkan baik lisan maupun dalam hati. Pada momen libur lebaran Tuhan mendorongku banyak memperoleh pemahaman. Ya, karena diriku mengisi Lebaran dengan aktivitas membaca. Bahkan bisa dari pagi sampai petang. Inilah yang kumaksud mengisi lebaran dengan penerbangan panjang. Alhamdulillah.

Berbekal tablet yang sering kusebut “cangkul” membuat diriku mudah dan bebas memilih bacaan.

Mulai dari cerita, gagasan dan karya para filosof Barat sampai pengalaman Fajar Bustomi menjadi sutradara Film Buya Hamka.

Termasuk menyelam kembali dalam kolam kajian orientalis yang menyegarkan perkenalanku dengan Bernard Lewis, Ignaz Goldziher dan penulis sejarah filsafat Barat, Bertrand Russel.

Belum berhenti, bacaanku terbang, hinggap ke narasi penuh kelembutan namun mematikan argumentasi nakal dan dangkal kaum liberal tentang Al Quran, yakni buku Orientalis dan Diabolisme Intelektual, karya Dr. Syamsuddin Arif.

Maha Suci Allah yang memerintahkan umat Nabi Muhammad SAW Iqra, lengkapnya Iqra Bismirabbik.

Baca Juga: Membaca Penting Membaca Asing

Dari aktivitas membaca itu pikiran dan imajinasi ku bisa menembus ruang dan waktu dalam sejarah. Menerobos dialektika dan kekeliruan cara berpikir para orientalis dalam memandang Islam bahkan kehidupan.

Lebih jauh, membaca juga meneguhkan jiwa, menguatkan kobaran cita-cita.

Umar bin Khattab pernah mengatakan bahwa manusia itu akan punya gairah dalam hidup kalau dia punya cita-cita.

“Aku tidak melihat seseorang yang terbelenggu, kecuali karena dia tidak memiliki cita-cita.”

Memotong Sayur

Posisi favorit diriku membaca adalah di bagian belakang rumah ibu mertua.

Alasannya simpel, posisi bangku menghadap ke bentangan sawah yang hijau.

Dalam jarak kurang dari 5 meter telah tersedia kolam ikan yang permukaan airnya seperti cermin. Memudahkanku melihat langit tanpa harus mendongak.

Sekira pukul 07.00 istri dan saudara yang semua perempuan itu duduk sejajar dengan aktivitas rutin, memotong sayur mayur.

Sebagian jadi lauk makan, jadi sayur bening atau lalapan. Sebagian jadi komposisi yang menjadikan gorengan bernama “bala-bala” kaya akan kandungan hijau sayur.

Entah mengapa, duduknya istri di sampingku yang satu jam lebih awal duduk membaca, menjadi energi tersendiri untuk mampu lebih lama, bertahan melakukan dua aktivitas andalanku, membaca dan menulis.

Jadi teringat sosok Buya Hamka, yang setiap kali menulis, sang istri, Siti Raham, datang membawakan kopi. Terkadang sejenak diskusi dengan Buya Hamka.

Perjuangan

Namun dari membaca itu pemahamanku akan satu kata semakin kuat, yakni perjuangan.

Baca Lagi: Langkah Membaca untuk Memahami

Nama-nama orientalis, seperti Goldziher misalnya, memang ia tidak mencintai Islam. Tetapi usahanya agar pikirannya bisa orang Islam terima, perjuangannya menuntut ilmu sangat luar biasa.

Ia bahkan sampai rela pura-pura masuk Islam agar bisa belajar ke Universitas Al-Azhar.

Dan, begitupun usaha-usaha orientalis lainnya dalam memposisikan dirinya patut untuk dinilai otoritatif.

Sebuah usaha yang memang jadi kedok para pembenci Islam dalam menebar kedengkian mereka terhadap Islam dan umat Islam.

Mereka berkemul dengan istilah expert scholar. Itulah yang Dr. Syamsuddin Arif tangkap dari mereka.

Beruntung Allah juga memberi ilham kepada sebagian ulama dan pemikir Muslim, sehingga selalu ada yang dapat menangkal upaya keras kaum orientalis dalam membelokkan ajaran Islam.

Singkat kata, membaca membuatku tahu bahwa mereka yang dalam kebatilan sekalipun siap berjuang bahkan berkorban. Lantas mengapa diriku tidak mau berjuang dan berkorban walau dalam tahap paling sederhana, yakni membaca dan menulis.

Bersyukur sekali Allah berikan kesadaran dan kesempatan itu pada momentum libur Lebaran. Sekali lagi, Alhamdulillah.*

Mas Imam Nawawi

 

Related Posts

Leave a Comment