Tidak hanya sekali saya mendengar Pemimpin Umum Hidayatullah KH. Abdurrahman Muhammad berkata, bahwa membaca biografi tokoh itu penting. Kegiatan itu akan jadikan orang mampu menggali mutiara hidup. Alhamdulillah, kali ini saya berkesempatan menggali sedikit dari M. Natsir dan Abdullah Said.
“Bacalah itu biografi, tokoh-tokoh besar. Biar terlihat bagaimana berpikir besar, terus bersemangat dalam berjuang,” ungkapan KH. Abdurrahman Muhammad yang masih saya ingat.
Saya pun senang membeli buku biografi tokoh. Termasuk profil kota-kota besar dalam Islam, seperti Andalusia. Bahkan juga profil sebuah bangsa, seperti bangsa Tartar.
Baca Juga: Dikesunyian Pedalaman Terus Hadirkan Kebermanfaatan
Dua sisi kesamaan antara M. Natsir dan Abdullah Said adalah pembelajar dan kepeduliannya yang tinggi untuk meningkatkan kualitas hidup umat Islam.
Energi
Membaca masa kecil M. Natsir kita jadi sadar tentang betapa jahatnya yang namanya penjajahan.
Natsir kecil kala itu ingin sekolah milik pemerintah HIS (Holands Inlands School (HIS)), namun Natsir ditolak.
Orangtuanya bukan orang kaya atau saudagar. Ayah Natsir sendiri bekerja sebagai juru tulis.
Namun Natsir bertekad untuk sungguh-sungguh dalam belajar. Akhirnya ia sekolah di HIS Adabiyah, yang sekolahnya sore hari.
Setiap berangkat atau pulang sekolah, ia melewati sekolah yang menolaknya karena bukan anak orang kaya.
Setiap momentum itu terjadi, Natsir selalu membatin bahwa dirinya kelak akan lebih baik dari mereka yang sekolah di bangunan batu itu. Natsir bertekad dan memang berjuang untuk tak lelah belajar.
Pria kelahiran Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat, itu pun tumbuh sebagai pembelajar yang cerdas dan menguasai banyak bahasa, seperti Belanda, Arab, Inggris dan Latin.
Pesan Penting
M. Natsir melihat bahwa hidup harus mampu beradaptasi dengan tantangan yang dihadapi.
Jangan mudah menyerah, tetaplah berjuang dengan kesungguhan hati.
Natsir bahkan mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tak luput dari kekurangan dan cacat. Tapi tetap mari syukuri.
Mana yang belum baik, kita perbaiki. Sesuatu yang telah baik, mari sempurnakan. Itulah namanya syukur nikmat, mengisi kemerdekaan dengan semangat terus menghadirkan kebaikan-kebaikan.
Abdullah Said
Berbeda zaman tentunya antara M. Natsir dan Abdullah Said. Jika M. Natsir merasakan buruknya penjajahan karena ia lahir pada 17 Juli 1908. Abdullah Said tumbuh dan besar dalam era Orde Baru.
Jadi bisa kita sebut, Abdullah Said adalah bagian dari “murid” M. Natsir untuk terus mengobarkan api dakwah.
Abdullah Said tak merasakan bagaimana anak Indonesia sulit belajar ke sekolah. Tetapi keduanya memiliki kesamaan, yaitu gila belajar.
Abdullah Said sejak muda selalu gemar membaca. Kala punya uang, ia akan menggunakan sebagian besarnya, bahkan seluruhnya, untuk membeli buku.
Seperti M. Natsir, Abdullah Said bukan hanya seorang pemburu ide dengan membaca buku, ia juga aktivis. Sejak belia telah bergabung dengan PII kemudian Pemuda Muhammadiyah.
Jadi wajar, kalau antara keduanya ada kesamaan tekad untuk meningkatkan kualitas hidup umat Islam, agar tidak tertinggal dari peradaban lain.
Keduanya pun sama dalam hal membangun wadah pergerakan dakwah. Usai malang melintang dalam perjuangan politik, akhirnya M. Natsir membangun Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.
Abdullah Said membangun wadah dakwah bernama Pesantren Hidayatullah yang kini telah menyebar di 623 titik di seluruh Indonesia.
Kesimpulan
Pada akhirnya kita mengetahui bahwa mutiara kehidupan bagi umat dan bangsa adalah mereka yang sejak belia telah sadar akan pentingnya ilmu.
Kemudian mereka mengasah skill, ide dan pergaulan dengan cita-cita mulia dengan penuh konsistensi.
Selanjutnya mereka hadapi apa pun situasi dan kondisi, berat, sulit atau yang lain, semuanya mereka hadapi dengan optimisme yang tak pernah redup.
Baca Lagi: Jadilah Top Skor Kebaikan
Bahkan kala keduanya telah menghadap keharibaan-Nya, wadah perjuangan dakwah yang mereka rintis dan bangun terus menghasilkan anak-anak muda yang siap dakwah.
Terbaru, 22 Oktober 2022, Dewan Da’wah melalui Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir mewisuda dan mengirimkan kader dainya untuk tugas ke berbagai pelosok Indonesia.
Begitu pula dengan Hidayatullah, pada waktu yang sama, melalui STIE Hidayatullah juga mengirimkan kader dai sarjananya ke berbagai daerah di Indonesia. Mengabdi dan ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Subhanallah.*