Kali ini adalah kedua kalinya saya bertemu dengan Kang Maman. Pertama di Cipinang, tepatnya di Restoran Al Jazeera. Kedua di Jatibening, sembari makan siang di Restoran Sederhana. Dan, kedua pertemuan itu selalu saya manfaatkan untuk menggali ide dari Kang Maman.
Ada tiga alasan mengapa saya harus menggali dari sosok yang kalau bicara santai dan tajam itu.
Pertama, ia adalah seorang penulis yang produktif. Bahkan novel berjudul Re: dan Perempuan terus mengalami cetak ulang sampai Maret 2023.
Namun yang menjadi sangat menarik adalah pada titik mana buku itu menjadi sangat digemari. Iyalah setelah 12 tahun beredar menjadi bacaan masyarakat.
Baca Juga: Dua Buku Satu Pekan
Dalam kata yang lain Kang Maman juga orang yang sangat sabar dan yakin bahwa setiap karya akan menemui takdirNya.
Jadi kalau kita sering mendengar ungkapan motivator bahwa kita harus sabar, maka dalam hal menulis dan sukses menerbitkan buku Kang Maman adalah sosok yang bisa jadi teladan.
Kang Maman sering mengucapkan kepada saya bahwa menulis adalah membaca berulang-ulang (silakan baca buku beliau “Aku Menulis Maka Aku Ada”) dan menulis juga berpikir berulang kali.
Kisah Hikmah
Ini adalah alasan kedua. Sekalipun Kang Maman termasuk orang yang lama bergelut dengan dunia rasionalitas, pria murah senyum itu juga sangat kaya akan kisah-kisah hikmah.
Seperti soal kematian. Iya pernah mendapatkan uraian seorang guru besar bahwa kematian itu bukanlah hal yang menakutkan.
Ibarat dua bayi kembar yang akan lahir ke dunia, ketika bayi pertama berhasil keluar dari alam rahim, bayi yang kedua merana di dalam. Ia merasa ditinggalkan dan sendirian.
Bahkan bayi yang masih dalam rahim itu menduga bayi yang lahir pertama telah tiada. Namun sesungguhnya bayi yang pertama lahir sebenarnya memasuki dunia baru yang lebih luas.
Proses kematian sesungguhnya seperti itu. Sejauh manusia banyak beramal kebaikan lalu ia meninggal maka sesungguhnya yang dalam kesulitan dan kesedihan bukanlah orang yang meninggal itu akan tetapi mereka yang ditinggal.
Orang banyak berkata bahwa ketika seseorang ada yang meninggal, lalu orang lain menangis, maka sesungguhnya itu bukan karena kesedihan karena orang itu telah pergi. Namun karena dirinya merasa sendiri.
Alasan Ketiga
Ia sosok yang patuh pada ibunya. Soal mengapa Kang Maman memilih “jihad” dengan menulis dalam kehidupannya, tidak lain karena itu adalah nasihat dari sang ibu.
Sang ibu selalu mengatakan kepada Kang Maman bahwa ketika kecil sang ayah selalu memberikan buku dan Kang Maman tersenyum bahagia ketika membaca buku.
Baca Lagi: Sadar Sebagai Pemimpin
Kalau sekarang dalam kehidupan yang lebih baik Kang Maman tidak menulis maka sesungguhnya itu akan sangat mengecewakan sang ayah.
Karena bagi sang ibu idealnya orang yang sudah rajin membaca ia harus bisa menulis. Maka Kang Maman terus berjuang mengisi hari-harinya dengan banyak berlatih menulis.
Dan, berkat menulis itulah kecerdasan Kang Maman menjadi inspirasi bagi banyak orang. Iya memiliki relasi dan koneksi yang begitu luas serta wawasan dan pandangan yang juga sangat luas.
Hasil Galian
Lalu apa yang berhasil saya gali dalam pertemuan kali ini?
Pesan Kang Maman satu kepada saya, “Jadilah Nur Cahaya.” Sebuah pesan yang ia coretkan dalam buku yang kubaca dari karyanya yaitu “Re: dan Perempuan.”
Tentu saja ini adalah sebuah motivasi. Bahwa saya pun tidak boleh berhenti di dalam kebaikan-kebaikan dengan apa yang saya mampu dalam dunia literasi.
Membaca dan menulis seperti panas dan hujan bagi Indonesia. Membuatku seperti negeri khatulistiwa yang selalu mendapat perhatian sekalipun pasti ada yang memandang dengan kebencian.
Namun tugasku satu, yaitu terus membaca dan menuliskannya dalam karya.
Biarkan saja orang bicara dengan persepsi masing-masing. Sungguh, Allah hanya melihat apa yang kita lakukan, beserta memandang sangat dalam apa yang tergerak dalam hati yang manusia tak satupun bisa menyelami.
Dan, bagiku setiap berjumpa seorang penulis, saya melihat, penulis itu punya alasan sekaligus tujuan dengan pilihan-pilihan penting dalam hidup mereka. Jiwa mereka merdeka, independen.
Kata M. Iqbal, mereka manusia yang rela seperti Nabi Ibrahim, mau membakar diri dalam kebenaran.*