Leadership adalah kata yang akrab di kalangan mahasiswa dan kaum muda serta organisasi. Namun demikian tak secara otomatis orang mengenal dengan baik konsep dan implementasi leadership dengan baik.
Sebuah ungkapan mengatakan, “Seorang pelaksana hebat tidak serta bisa menjadi pemimpin yang hebat.”
Hal ini karena kepemimpinan memang bukan soal penguasaan teori atau konsep semata, tetapi jauh lebih utama adalah implementasi nyata di dalam ruang-ruang kepemimpinan.
Baca Juga: Menguatkan Daya Baca
Oleh karena itu dalam Islam pemimpin bukan soal jabatan, tetapi soal jiwa dan kemanusiaan kita sendiri. Karena idealnya setiap jiwa memang mampu menjadi pemimpin.
“Masing-masing dari kalian adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang orang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Terampil Komunikasi
Seorang pemimpin adalah sosok yang mampu berkomunikasi dengan baik. Dalam ruang digital, kemampuan komunikasi itu bisa melalui beragam platform media komunikasi termasuk melalui media sosial.
Jika hari ini ada pemimpin (pejabat) yang dikirim pesan dari WA, IG dan FB tidak segera merespon atau tidak direspon sama sekali sedangkan yang mengirim pesan adalah pihak yang berkepentingan, bisa dipastikan kepemimpinan orang itu menjadi tidak relevan lagi dengan aspirasi orang yang membutuhkan.
Jika ditinjau dari sarana komunikasinya, mungkin sangat sederhana, hanya pesan WA. Tetapi sikap orang mau atau tidak memberi respon bukanlah soal sederhana, ini tentang kepemimpinan, kemampuan komunikasi dan menghargai sesama atau yang dipimpinnya.
Kita ketahui hampir semua orang yang punya hape pasti punya kaun media sosial. Dalam sebuah survei disebutkan pengguna internet di Indonesia mencapai angka 143,26 juta.
Dan, media sosial memang sangat bermanfaat untuk komunikasi, edukasi, rekreasi, promosi, diseminasi berinteraksi dll (lihat buku Memaksimalkan Penggunaan Media Sosial Dalam Lembaga Pemerintah diterbitkan oleh Kominfo).
Nah salah satu ciri media sosial adalah bersifat sangat interaktif. Jadi, untuk apa orang perlu mengenal sosok orang yang jadi pejabat, pemimpin atau tokoh, jika dalam realitanya ia tak bisa disapa alias tidak mau interaktif.
Apalagi kalau kemudian status-status di media sosial yang dimiliki tidak ada ide dibagikan. Jelas orang tidak akan melihat keterampilannya dalam komunikasi, sehingga ia memang akan kehilangan brand sebagai pemimpin.
Memecahkan Masalah
Leadership alias kepemimpinan harus berorientasi pada kemampuan memecahkan masalah. Mengapa?
Tidak lain karena perubahan selalu terjadi. Orang yang tidak siap dan mempersiapkan diri untuk perubahan akan terseret pada kejumudan dan akhirnya tertinggal serta ditinggal.
Sebagai contoh apakah kita masih ingat demo yang dilakukan oleh sejumlah sopir taksi pada 22 Maret 2016 di Jakarta?
Ketika itu mereka menyarakan tuntutan agar perusahaan aplikasi online yang bermitra dengan mobil plat hitam. Namun, tuntutan itu tidak mungkin ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Mengapa, karena aplikasi online itu mampu memecahkan masalah kebutuhan konsumen, dimana orang tidak lagi perlu menunggu di jalan raya, panas atau hujan menanti taksi dalam ketidakjelasan.
Baca Lagi: Kuatkan Literasi Umat
Satu hal yang tidak dipecahkan para sopir taksi konvensional (petahana), sehingga mau tidak mau, mereka harus siap ditinggalkan oleh konsumen.
Memecahkan masalah berarti mampu memberikan jalan keluar dari problem yang membelit kehidupan. Oleh karena itu seorang pemimpin sejatinya orang yang mampu membawa manusia keluar dari masalah menuju kedewasaan dan keadaan hidup yang lebih baik, lahir dan batin.
Menarik juga ungkapan Calvin Coolidge, “Tak seorang pun pernah dihormati karena apa yang dia terima. Kehormatan dalah penghargaan bagi orang yang telah memberikan sesuatu yang berarti.”
Jadi, kepemimpinan adalah soal memberi, melayani, dan memberi legacy.*