Mas Imam Nawawi

- Opini

Mengejar Berkah dengan Idealisme Pendidikan

Pendidikan adalah dasar utama untuk suatu umat, bangsa dan negara mencapai kemajuan. Saya yakin kita semua setuju. Namun pendidikan yang mana? Ketika pendidikan terseret arus industri yang kapitalistik semata, mengabaikan aspek nilai atau idealisme, bukan itu yang akan membawa kemajuan lahir dan batin anak manusia. Fenomena kerusakan alam, ketidakjujuran yang menguasai cara berpikir orang pintar […]

Pendidikan adalah dasar utama untuk suatu umat, bangsa dan negara mencapai kemajuan. Saya yakin kita semua setuju. Namun pendidikan yang mana? Ketika pendidikan terseret arus industri yang kapitalistik semata, mengabaikan aspek nilai atau idealisme, bukan itu yang akan membawa kemajuan lahir dan batin anak manusia.

Fenomena kerusakan alam, ketidakjujuran yang menguasai cara berpikir orang pintar (dalam arti punya gelar pendidikan formal) sudah cukup menjadi bahan kita merenung. Bahwa kita butuh pendidikan yang tidak saja baik secara materi dan metode. Namun juga kita sangat memerlukan pendidikan yang idealismenya kuat, yang akan mampu mengundang berkah dari Allah SWT.

Pikiran itu saya tangkap dari sambutan Kepala Sekolah SMP Integral Hidayatullah Putri, Pesantren Hidayatullah Depok, Ustadzah Sarah Zakiyah. Gagasan itu ia paparkan kala memberi sambutan dalam Wisuda Santri Putri Angkatan IV.

Mendidik Jiwa dan Raga

Jika Tan Malaka mengatakan idealisme adalah kemewahan pamungkas anak muda, maka idealisme dalam pendidikan adalah nafas. Ketika sebuah lembaga pendidikan mulai mengubah orientasinya dari nilai ke materi dan materialisme, maka sejak itulah gugur nilai pendidikan paling utama.

Berbagai capaian akademik mungkin dengan mudah bisa diraih. Tapi apakah iman, takwa, kasih sayang, empati dan mental menjadi manusia bermanfaat masih ada di dalam akal, hati dan kesadaran anak-anak didik kita?

Seperti Fahri Hamzah berpikir dalam buku Trilogi Kesejahteraan “Mengapa Indonesia Belum Sejahtera?” Negeri ini tak mudah mengatasi kemiskinan meski telah merdeka hampir 8 dekade. Persoalannya sama, alat ukur kesejahteraan ada. Tapi itu tertulis saja. Realitanya masyarakat masih banyak yang hidup dalam kondisi belum sejahtera.

Pendidikan pun sama. Semua orang sadar sekolah itu penting. Namun, pengaruh paradigma industri begitu kuat mencengkeram akal dan pikiran umumnya manusia. Akibatnya, pendidikan melahirkan anak-anak cerdas, siap kerja. Tapi sebagian mereka lupa untuk peduli.

Memang itu tantangan kita, bahkan warga dunia. Din Syamsuddin pernah mengatakan dalam Konferensi Persaudaraan Manusia untuk Kedamaian dan keamanan Dunia di Zagreb, Kroasia ,akan hal yang secara prinsip sama.

Kasih sayang, katanya, dapat menyelesaikan konflik. Sayangnya, idealisme itu tak mudah diwujudkan.

Menjawab dengan Melangkah

Jadi, saya kagum dengan langkah Ustadzah Sarah Zakiyah yang dalam sambutan kelulusan santri itu mengupas hal ini. Ia telah menyampaikan satu ide penting dalam dunia pendidikan.

Dan, seperti uraiannya, ia dan tim memang telah melangkah untuk menjawab arus yang sangat kuat belakangan ini: pragmatisme dan materialisme.

Alquran dan Hadits serta Sirah menjadi dasar pendidikan. Selanjutnya anak-anak mendapat peluang untuk berinteraksi dengan masyarakat, mengembangkan skill menulis, public speaking dan berlatih bermasyarakat dalam kehidupan asrama.

Hari ini, itu semua adalah langkah kecil yang ditekadkan menjadi arus. Seiring waktu dengan izin Allah, itu mungkin akan menjadi jawaban bagi umat, bangsa dan negara. Bahwa mendidik anak bangsa harus dengan nilai mulia. Memang tidak mudah, tapi disitulah hidup menjadi berharga. Dari sana kita berharap cahaya terang menerangi kita semua.

Dengan begitu harapan Indonesia Emas 2045, kita dapat wujudkan bersama-sama. Selamat berjuang, jalan kita masih panjang.*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *