Belakangan ramai pemberitaan rencana Gubernur Jabar Dedi Mulyadi akan menerapkan kebijakan program keluarga berencana untuk suami sebagai syarat penerima bantuan sosial. Dedi menyampaikan itu pada Senin (28/4/25) usai mengikuti Deklarasi Jawa Barat Istimewa di Kota Bandung. Maksudnya jelas untuk mengatasi kemiskinan. Tetapi apakah langkah itu cukup?
Mari perlahan-lahan kita dudukkan masalah ini. Dari sisi pemikiran, tentu langkah Gubernur Jabar ini punya landasan yang mulia. Bahkan dalam program itu, Jabar siap mewujudkan desa dan kelurahan yang tidak ada kematian ibu, bayi, dan ibu melahirkan, serta tidak ada kasus stunting atau tengkes baru.
Targetnya, kalau keluarga penerima bansos mengikuti program keluarga berencana (KB), Dedi memiliki perhitungan angka kelahiran dapat terkendali sehingga angka kemiskinan dapat menurun. Terlebih masalah kemiskinan dan perceraian kerap terjadi. Semua itu menjadi indikasi kuat bahwa banyak keluarga terbentuk tanpa persiapan yang matang.
Berdasarkan kondisi itu, maka suami dalam hal KB ini harus siap. Targetnya adalah terwujudnya keluarga yang berkualitas di Jabar.
Bukan Jalan Sempurna
Manusia punya pemikiran, tapi tak ada satupun jalan pikiran manusia yang sempurna. Oleh karena itu, upaya Gubernur Jabar ini, perlu kita kritisi tetapi juga penting kita bantu pemecahannya.
Kalau belajar dari China yang telah beberapa dekade menerapkan kebijakan “Satu Anak”, soal menekan angka kelahiran penduduk berhasil mereka kontrol. Namun, China tidak mampu menghadapi kondisi ketidakseimbangan gender dan populasi usia lanjut yang tinggi.
Indonesia dalam beberapa pandangan juga berhasil menurunkan angka kelahiran dan meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui program KB.Akan tetapi ada pendekatan turunan; seperti pendekatan partisipatif dan edukatif, bukan pemaksaan.
Dalam tinjauan lebih langsung, mengatasi kemiskinan keluarga sejatinya memerlukan hadirnya program pemberdayaan ekonomi, perbaikan akses pendidikan dan kesehatan. Lebih penting juga reformasi struktural untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan masyarakat.
Dalam kata yang lain, pendekatan vasektomi untuk suami dalam program KB, sebagai bentuk syarat menerima bantuan sosial, mungkin bisa diterima sementara waktu. Namun langkah lebih komprehensif sangat mendesak untuk diutamakan secara berkelanjutan.
Akar Masalah
Kemiskinan yang warga Indonesia alami akar masalahnya bukan karena ketiadaan bantuan. Tetapi belum fokusnya pemerintah pada akar masalah dari kemiskinan itu sendiri.
Bantuan sosial sering gagal memberikan dampak jangka panjang karena hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah.
Bantuan sosial seperti subsidi pangan, uang tunai, atau bantuan pendidikan biasanya hanya memberikan bantalan ekonomi jangka pendek tanpa membuka akses bagi keluarga miskin untuk meningkatkan kapasitas ekonomi mereka secara mandiri.
Warga miskin akan sangat baik jika mereka mendapatkan pelatihan keterampilan, penciptaan lapangan kerja, atau pendidikan yang memadai.
Secara filosofis, bantuan sosial sering kali berbasis pada paradigma “charity” (amal) yang lebih bersifat paternalistik, yakni memberikan bantuan tanpa memberdayakan penerima untuk mengubah kondisi mereka sendiri.
Pandangan ini berbeda dengan prinsip “empowerment” (pemberdayaan), yang menekankan pentingnya memberikan alat dan kesempatan kepada individu untuk mengambil kendali atas hidup mereka.
John Rawls, seorang filsuf moral dan politik AS, berargumen bahwa keadilan sosial harus menciptakan struktur yang memberikan kesempatan setara bagi semua orang untuk berkembang, bukan sekadar memberikan bantuan sementara.
Jika bantuan sosial tidak dirancang untuk membangun kapasitas individu atau komunitas, maka ia hanya akan menjadi solusi parsial yang tidak mampu memutus rantai kemiskinan lintas generasi. Tetapi bagaimanapun kita tunggu niat baik Gubernur Jabar dalam menjalankan amanahnya dengan baik.
Problem dasarnya bagi seorang gubernur, masa jabatan terbatas dalam 5 tahun, sedangkan soal kemiskinan telah lama menyelimuti warga. Tentu saja berbagai upaya percepatan akan jadi pilihan, meski tentu memancing banyak sudut pandang. Tapi itulah konsekuensi orang yang memilih jadi pemimpin, jalan terjal memang harus dituntaskan.*