Home Kajian Utama Mengapa Sikap Lemah Lembut itu Kekuatan?
Mengapa Sikap Lemah Lembut itu Kekuatan?

Mengapa Sikap Lemah Lembut itu Kekuatan?

by Imam Nawawi

Umumnya orang, terutama yang memiliki kekuasaan, potensial bersikap arogan sangat tinggi. Ia mengira itu adalah ketangguhan. Padahal, sejatinya sikap lemah lembutlah kekuatan. Mengapa?

Filsuf politik yang juga penulis, Hannah Arendt (1906-1975) memberikan ungkapan yang bisa kita jadikan sarana memahami tema kita kali ini.

Baca Juga: Mawar Ratih yang Penuh Kasih

“Jika manusia tidak sama, maka mereka tidak pernah bisa saling mengerti dan melihat kebutuhan manusia masa depan. (Tetapi) jika manusia tidak berbeda, mereka tidak butuh tindakan dan ucapan saling mengerti.”

Ungkapan itu termaktub dalam buku “Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)Rendt Sampai Z(Izek).”

Dalam kata yang lain, manusia akan salah melangkah kalau dirinya tidak tahu siapa manusia itu sendiri. Jadi, manusia itu sama, sekaligus berbeda.

Sama dalam hal keinginan, seperti ingin bahagia, ingin sukses. Tetapi sekaligus berbeda, utamanya dalam hal menempuh jalan kehidupan.

A ingin bahagia, dengan imannya ia menjalani hidup dengan ibadah dan amal sholeh.

B ingin bahagia, tanpa keyakinan kepada Tuhan, ia mengisi hidup dengan perilaku negatif, mabuk, narkoba dan premanisme. Bahkan korupsi dan suka membungkam orang yang berbeda.

A dan B sama-sama ingin bahagia. Tetapi A dan B memilih jalan yang tidak sama. Itu dalam konteks yang ekstrim.

Tetapi dalam hal yang biasa, orang seringkali tidak sama dalam hal cara berpikir, memahami sesuatu, termasuk selera makan. Dalam konteks inilah, sikap saling mengerti sangat diperlukan.

Politisi Ideal

Kalau kita tarik dalam tataran politik, politisi ideal berarti yang punya kelembutan.

Oleh karena itu semua kekuatan diktator dalam politik tidak ada yang bertahan lama.

Karena ia menghendaki semua manusia diperlakukan sama. Jelas itu melawan kodrat manusia itu sendiri yang sama sekaligus berbeda.

Dan, siapapun politisi yang dalam kebijakannya kerap mengeliminir orang yang berbeda pendapat dan jalan politik sebagai musuh, biasanya juga ia akan terjebak pada tindakan melawan hukum, masuk jurang ketidakadilan.

Pada akhirnya tidak mampu mengendalikan keadaan dan jadi terkutuk dalam catatan sejarah.

Lihat saja bagaimana Fir’aun Allah tenggelamkan. Bukan karena Fir’aun lemah, tetapi karena dengan kekuatan dan kedudukannya ia merasa tak ada yang bisa memansuhkan kehendaknya.

Sebagai manusia, Fir’aun sangat lemah. Tetapi karena ambisi kuasa ia membutakan mata hatinya sendiri.

Cerita kekuasaan selalu begitu. Pemimpin yang tidak memiliki idealisme dan menjadikan kelembutan sebagai senjata dalam berpolitik, ia akan menjadi kaku dan destruktif.

Akan tetapi, dunia bisa jadi panggung bagi siapapun. Hanya saja tak ada panggung yang abadi. Semua datang, silih berganti.

Hanya saja pemimpin yang ideal dalam berpolitik akan abadi (legacy-nya). Sedangkan pemimpin yang kasar dalam berpolitik akan mendapat kutukan sepanjang zaman.

Kecerdasan

Politisi yang bisa lemah lembut hanya yang memenuhi syarat utama, yaitu kecerdasan.

Orang tentu paham secara teori, bahwa tindakan kekerasan hanya akan jadi pilihan mereka yang kekurangan subsidi ilmu dalam otak.

Baca Lagi: Menikmati Aktivitas Kebaikan

Akan tetapi betapa banyak orang yang punya gelar akademik juga memilih jalan yang sama, menjadi bodoh dalam tindakan politik. Mengapa?

Bukan karena kecerdasan kognisinya hilang. Tetapi karena ia rela menukar kecerdasan itu dengan egoisme kebahagiaan semu. Itulah dahulu muncul istilah pelacur intelektual.

Sebuah tindakan yang sebenarnya menggambarkan bahwa tidak semua orang pintar otaknya juga cerdas hatinya.

Nah, kecerdasan hati inilah yang memungkinkan seseorang memiliki sikap lemah lembut.

Dengan demikian, kalau ada politisi yang punya kedudukan, lalu secara sadar menampilkan sikap anti kritik, tidak mau terhadap perbedaan, maka sungguh ia juga sedang menolak kehadiran manusia itu sendiri.

Seperti ungkapan Arendt, manusia itu sama sekaligus berbeda. Kalau mau sama terus, nanti akan jadi komunis. Kalau mau berbeda terus, nanti akan jadi liberal.

Jadi, kita butuh kecerdasan bagaimana memposisikan secara adil.

Pada ruang kita ingin bahagia dan sejahtera, maka kesamaan ini harus jadi kesadaran para politisi, sehingga tidak self oriented yang kemudian jadi koruptor.

Pada ruang kita harus berbeda, disitulah bhineka tunggal Ika bisa dijalankan. Silakan berbeda, asal jangan destruktif.

Pertanyaannya, siapa pemimpin yang siap menjadi manusia yang seperti itu?

Dalam skala Indonesia pada 5 tahun mendatang, capres lah yang harus kita lihat, mana yang memenuhi kriteria itu, minimal tidak arogan alias menjadikan kelemahlembutan sebagai perangai dirinya dalam berpolitik.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment