Prabowo sangat aktif melakukan pertemuan bahkan dengan lawan politik dalam pilpres. Hal itu tentu saja menjadi sebuah pertanyaan, mengapa Prabowo berkebutuhan melakukan itu. Sampai-sampai ada kesan kalau bisa jangan ada satupun partai politik yang tidak masuk koalisi.
Langkah itu mungkin akan mudah kita temukan jawabannya kalau melihat masa Presiden Jokowi berkuasa. Saat semua partai politik ada dalam koalisi tak ada satu pun hajat yang mengharuskan lahirnya UU baru berjalan alot, apalagi batal.
UU Cipta Kerja salah satu contoh. Bagaimana UU ini cepat sekali berproses di DPR. Sekalipun MK menetapkan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, hambatan tak begitu berarti. Seketika Presiden Jokowi kala itu membuat Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Media juga mencatat bahwa RUU IKN adalah yang berjalan sangat cepat. Hanya perlu waktu 111 hari. Kemudian pembahasan super cepat juga berlangsung pada revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. DPR hanya butuh waktu 12 hari untuk mengesahkan revisi UU KPK.
Pengesahan revisi UU KPK berlangsung dalam Rapat Paripurna DPR pada 16 September 2019 tanpa penolakan fraksi dan interupsi dari anggota dewan yang hadir.
Baca Juga: Desain Politik 2024
Secuil fakta ini tampaknya cukup bagi kita untuk mengetahui kemana arah Prabowo mengajak semua partai masuk dalam koalisi. Tetapi, apakah langkah Prabowo akan benar-benar sama dengan masa Jokowi 10 tahun silam?
Kuasa Ketum Parpol
Saat sebuah partai politik menyatakan siap masuk koalisi, maka sebuah parpol sudah bisa dikendalikan suaranya. Hal ini karena ketua umum partai politiknya telah siap mendengarkan kehendak dari presiden terpilih.
Kalau pun ada anggota dewan dari partai politik tertentu coba bersuara lain, maka itu akan menghancurkan dirinya sendiri. Kalau tidak, itu hanya sebagai upaya menciptakan sandiwara agar media ramai.
Posisi Ketum Parpol sangat menentukan. Namun sayang posisi itu hanya jadi subordinat kepentingan, sehingga anggota dewan yang ada hanya bisa menjadi paduan suara. Yes, yes, yes!
Masih ingat rapat Komisi III DPR RI, yang kala itu seorang anggota DPR mengatakan bahwa semua keputusan harus dari ketum parpol?
Ganjalan
Namun upaya Prabowo tampaknya tidak mulus, karena PDI-P sepertinya akan memilih oposisi. Sekalipun secara resmi PDI-P akan mengambil keputusan usai Rakernas, banyak pihak menilai PDI-P akan sangat ogah masuk koalisi.
Luka berupa kecewa kepada Jokowi yang PDI-P alami sangat dalam. Selain itu apa iya, PDI-P akan nyaman berada dalam koalisi Prabowo sedangkan ada Partai Demokrat di dalamnya?
Dan, jika PDI-P menjadi oposisi maka ini akan menjadi satu ganjalan tidak mudah bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Tetapi Partai Politik bukan lembaga hukum, ia bisa berubah kapan saja.
Pada dasarnya kita melihat tak ada yang tetap dalam politik. Semua akan berubah seiring waktu. Dan, dalam realitas inilah rakyat kebanyakan kerap pusing memikirkan politik.
Satu sisi rakyat melihat orang hidup harus dengan komitmen moral, namun para elit partai politik memandang, tak ada yang lebih utama daripada mencapai target-target politik praktis.
Seakan-akan tak perlu moral apapun dalam politik. Toh, rakyat bisa lupa. Rakyat juga bisa terkesima dengan janji dan branding baru yang partai politik sajikan. Memang sedemikian itu.
Nilai
Namun, Prabowo-Gibran bisa saja tidak perlu menarik semua parpol dalam koalisi jika memang menerapkan politik nilai. Sejauh keputusan yang akan dibuat menguntungkan rakyat, rakyat akan bersama presiden dan wakil presiden terpilih.
Baca Lagi: Muhasabah Politik Umat
Akan tetapi kalau langkah politik yang mau diambil nantinya memang bukan untuk rakyat, maka koalisi gemuk memang penting, supaya tidak ada resistensi. Biar rakyat menangis, tidak masalah, semua anggota DPR akan seiya, sekata dengan presiden.
Kita tinggal menunggu, apakah Prabowo-Gibran nanti memang benar-benar dapat mensejahterakan rakyat atau seperti apa. Kita tak bisa mendahului takdir.
Satu hal positif yang bisa kita lihat dari Prabowo, ia adalah prajurit negeri, ia punya patriotisme. Sekalipun mungkin sebagian orang bingung, mengapa seorang Prabowo bisa terkesima dan cenderung mengelu-elukan sosok Jokowi.*