Apakah kita sulit menemukan orang yang anti saran di era sekarang? Tidak mengapa, memang manusia kadang seperti itu. Merasa dirinya lebih dari yang lain. Akan tetapi Rasulullah SAW adalah orang yang tahu akan saran brilian, sehingga tidak mentang-mentang Nabi, akal manusia lain seperti kurang berguna.
Saat Nabi SAW bersama sahabat menyiapkan diri dalam perang Badar, Nabi memiliki ide segera menguasai sumur Badar.
Namun Khabab ibn Mundzir ra bertanya apakah ide itu dari wahyu atau ide semata dalam strategi perang. Lalu Khabab pun menyampaikan saran.
“Wahai Rasulullah, jika demikian tempat ini tidak strategis. Lebih baik kita pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita membuat markas di sana dan menutup sumur-sumur yang ada di belakangnya.”
“Kita buat lubang-lubang dekat perkemahan dan kita isi dengan air sampai penuh, sehingga kita akan berperang dan mempunyai persediaan air yang cukup. Sedangkan musuh tidak memiliki persediaan air minum,” kata Khahab.
Apakah Rasulullah SAW marah, murka, merasa terhina dikritik oleh Khahab?
Tidak, beliau SAW justru menyetujui kritikannya sambil tersenyum.
“Pendapatmu sungguh baik.” Malam itu juga, Rasulullah SAW dan para sahabat melaksanakan usulan dari Khahab tersebut. Sebagamana sejarah mencatat, akhirnya kaum Muslimin memenangkan peperangan tersebut dengan telak.
Terjebak Ilusi
Seperti itulah teladan dari Rasulullah SAW dalam menimbang dan menerima saran. Akibatnya komunitas Islam kala itu hidup dan penuh gairah, karena orang benar-benar mau berpikir dan tidak takut menyampaikan pandangannya, bahkan kepada Nabi SAW sekalipun.
Ketika seseorang merasa dirinya tidak memerlukan saran, biasanya itu terjadi karena adanya ilusi superioritas atau cognitive bias.
Orang yang seperti itu mudah terlena dengan melebih-lebihkan pengetahuan dan kompetensinya yang terbatas.
Kondisi itulah yang membuat seseorang menutup diri terhadap perspektif lain, menjadi mudah reaktif dan kadang-kadang mendadak arogan.
Jika ada hal yang tak sesuai cara berpikirnya, segera ia akan menolak. Apakah dengan memotong pembicaraan orang lain atau mengatakan pendapat orang lain itu sudah tidak relevan berdasarkan pengalaman subyektifnya sendiri.
Lebih aneh lagi ketika sebuah komunitas, dunia kerja, atau lingkungan terbatas, kerap memandang pendapat atasan jauh lebih berbobot daripada pendapat orang yang menguasai permasalahan.
Baca Juga: Memecah Masalah dengan Baik, Ini Caranya!
Ini juga menjadi sebab sebuah organisasi cenderung gagap menanggapi perubahan. Karena semua opini harus kembali pada yang paling tinggi strukturnya.
Biasanya orang yang paling kuat kedudukannya akan sering mengemukakan masalah dan tak ada ide atau gagasan yang ia tawarkan.
“Mau bagaimana kalau seperti ini?” Begitu biasanya mengeluhkan keadaan.
Ubah
Kondisi tidak mau menerima saran bisa terjadi dalam diri siapapun. Oleh karena itu penting kita terus meningkatkan pemahaman bahwa ide yang baik tak mutlak selalu dari pikiran kita sendiri, terlebih kalau sudah masuk ranah strategi mencapai keunggulan secara sosial, keilmuan dan kemasyarakatan.
Langkah paling penting kita harus tenang dan mampu membaca data dan fakta secara rasional dan objektif. Kemudian menjadikan itu sebagai bahan untuk melihat lebih dalam perihal apa yang harus kita pertahankan, mana yang perlu kita sesuaikan, serta siapa yang bisa menjalankan kesimpulan dengan tegas.
Albert Einstein pernah berkata, “The more I learn, the more I realize how much I don’t know.”
Ungkapan ini mencerminkan pentingnya kerendahan hati intelektual dalam menerima saran dan memperluas wawasan.
Sementara itu, psikolog Adam Grant dalam buku “Think Again” menyebutkan bahwa sikap terbuka terhadap perubahan pikiran adalah tanda kecerdasan sejati.
Ia menekankan bahwa kita harus lebih sering berpikir seperti ilmuwan, yakni mempertanyakan asumsi dan menerima masukan sebagai data untuk memperbarui pemahaman kita.
Sehingga kita sendiri mengalami pertumbuhan keilmuan yang pesat karena bisa mendengar, memahami dan menyerap dengan mendalam justru melalui diskusi, musyawarah dan lain sebagainya.
Lantas bagaimana jika ada saran yang memang tidak relevan? Itu kesempatan bagi seluruh yang ahli lebih-lebih senior untuk memberi bimbingan. Bukan menghentikan (interupsi) pendapatnya yang belum usai apalagi kemudian menilai bukan begitu yang saya maksud.
Seandainya Nabi SAW ada di forum seperti itu, apa yang bisa kita jelaskan?*