Pernah memerhatikan ada seorang pemimpin merasa ditinggalkan?
Pasti muncul pertanyaan mengapa atau kok bisa.
Baru-baru ini ada seorang pemimpin yang tampaknya baru kali pertama mengatakan dirinya dalam masalah (mungkin teman-temannya meninggalkannya). Sebuah pernyataan yang mengesankan bahwa seakan-akan ia tak lagi berharga.
Fakta itu menarik untuk jadi perhatian dalam konteks leadership. “A leader is simply someone who accepts responsibility for others for their benefit.” Itulah ungkapan dalam buku “The Alphabet of Leadership The A-Z of Improving Your Leadership Effectiveness” karya Dr. Ubah.
Dr Ubah adalah lulusan dari Sloan Fellowship Programme in Leadership and Strategy of the London Business School yang bergengsi dan anggota dari Strategic Planning Society, UK. Sebagai konsultan kepemimpinan, strategi, dan manajemen perubahan yang tersertifikasi, ia memiliki pengalaman dalam merancang dan memberikan program kepemimpinan, strategi, budaya, dan manajemen perubahan untuk organisasi terkemuka di Nigeria.
Tanggung Jawab
Ungkapan Dr Ubah itu bermakna bahwa seorang pemimpin adalah sosok yang bersedia bertanggung jawab atas orang lain demi kepentingan mereka.
Pemimpin yang paham tidak hanya memerhatikan otoritas, tetapi juga memahami bahwa kepemimpinan berarti mengambil tanggung jawab atas tindakan, keputusan, dan kesejahteraan orang-orang yang jadi bawahannya. Ia menumbuhkan, bukan menghentikan.
Lebih jauh seorang pemimpin sejati tidak hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok tertentu. Ia punya komitmen tinggi mengutamakn kepentingan rakyat, anggota atau orang yang mendukungnya.
Mereka membuat keputusan dan mengambil tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup, kesejahteraan, dan perkembangan orang-orang tersebut.
Secara keseluruhan, ungkapan ini menekankan bahwa kepemimpinan bukanlah sekadar posisi atau gelar. Kepemimpinan adalah komitmen untuk melayani dan memberikan yang terbaik bagi orang lain.
Baca Juga: Sadar sebagai Pemimpin
Seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang bersedia mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan kenyamanan pribadi demi kebaikan bersama, bukan flexing keluarga.
Moral
Orang tidak akan meninggalkan pemimpin yang bermoral. Apakah dalam konteks kekinian moral masih relevan, masih ada kekuatannya?
“Effective leadership is centered in a moral values base, and that also is an anchor for the leader’s vision” itu salah satu kalimat dalam buku “The SAGE Guide to Educational Leadership and Management“.
Bahwa kepemimpinan yang efektif berpusat pada nilai-nilai moral, dan itu juga menjadi jangkar bagi visi seorang pemimpin. Artinya tanpa moral, pemimpin menjadi tidak efektif dan tidak memiliki jangkar ke depan.
Ini menjelaskan kepada kita bahwa kepemimpinan yang efektif tidak hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang bagaimana tujuan tersebut benar-benar dapat kita capai.
Jika seorang pemimpin menjadikan nilai-nilai moral sebagai pusat dari pemikiran dan kebijakan serta arah pembangunan, maka ia akan bisa efektif dalam kepemimpinan. Manusia mana yang tidak mau memiliki pemimpin kuat moralnya, seperti kejujuran, integritas, keadilan, dan rasa hormat.
Bukankah nilai-nilai ini menjadi pondasi bagi semua keputusan dan tindakan seorang pemimpin?
Moral yang kuat dan berpadu dengan visi seorang pemimpin, maka akan lahir kesadaran tim untuk terus berbenah, berubah dan maju terus dalam mencapai tujuan.
Cara dan Hasil
Dengan kata lain, ungkapan ini menyampaikan bahwa pemimpin yang efektif tidak hanya berfokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses dan cara mencapai hasil tersebut.
Mereka memahami bahwa kepemimpinan yang berkelanjutan dan berdampak positif harus berdasarkan pada prinsip-prinsip moral yang kuat.
Jadi jangan bangga berlebihan apalagi pongah saat mendapat kepercayaan sebagai pemimpin. Jika moralitas jatuh dan visi lemah, orang akan pergi, meninggalkan bahkan melupakan.
Sebaliknya pemimpin yang komitmen pada moral dan tanggung jawab demi mencapai visi bersama, ia akan terus hidup walau telah tiada dan orang tidak pernah berjabat tangan dengan dirinya.*