Entah mengapa, tiba-tiba saya bertanya dalam hati—mengapa Allah SWT begitu menekankan pentingnya berpikir?
Bahkan wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bukan perintah ibadah ritual, melainkan Iqra, bacalah. Bukankah itu artinya umat Islam itu pembelajar tulen?
Tentu saja itu sebuah seruan yang mendalam. Mengajak kita bukan hanya mau dan tekun membuka lembaran, tapi juga membuka dan menajamkan kesadaran.
Dalam kata yang lain, Islam adalah agama ilmu. Siapa yang sungguh-sungguh beriman, niscaya akan melatih diri untuk berpikir jernih, tajam, dan bertanggung jawab.
Maka, anggapan bahwa agama hanya memuat dogma kaku, jelas tak berlaku dalam Islam.
Sebaliknya, Alquran menantang manusia: jika ragu, datangkanlah argumen dan bukti. Ini bukan bentuk arogansi, tapi undangan terbuka untuk berpikir kritis, logis, dan adil.
Islam menuntut umatnya berpikir—bukan sekadar ikut. Ikut yang tak menambah kekuatan iman dan pemikiran serta akhlak kepribadian.
Lebih-lebih bagi umat Nabi Muhammad, yang sejak awal dipersiapkan untuk jadi pembawa risalah di tengah perubahan zaman. Umat yang kuat tak lahir dari barisan yang diam, tapi dari barisan yang berani berpikir dan berani mencari kebenaran.
Berpikir, Potensi yang Sering Terlupakan
Secara alamiah, manusia memang diciptakan sebagai makhluk berpikir. Otak kita—dengan lebih dari satu triliun sel—memiliki daya olah luar biasa, bahkan melebihi kecanggihan komputer paling mutakhir sekalipun.
Tapi potensi itu tak otomatis membuat kita cerdas. Ia perlu diasah, dilatih, dan dipakai secara sadar.
Pertanyaannya: sejauh mana kita memanfaatkan karunia itu?
Dalam dunia yang cepat berubah, terlalu banyak anak muda Islam terjebak dalam rutinitas yang dangkal. Padahal mereka punya potensi besar untuk tampil sebagai pribadi cerdas—bukan hanya secara akademik, tapi juga dalam menyikapi hidup.
Di sinilah pentingnya berpikir sebagai keterampilan hidup. Sebab, seperti kata Santrock, kecerdasan sejati adalah kemampuan memecahkan masalah dan belajar dari pengalaman.
Sujiono juga menegaskan, orang cerdas bukan yang banyak tahu, tapi yang tahu bagaimana menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
Kecerdasan Tak Berdiri Sendiri
Berpikir bukan hanya soal logika. Goleman mengingatkan kita bahwa kecerdasan IQ hanya menyumbang 20 persen dari kesuksesan.
Selebihnya datang dari kecerdasan emosi dan spiritual. Maka, kecerdasan yang utuh adalah gabungan dari IQ, EQ, dan SQ—logika, rasa, dan makna.
Goleman menyebut lima pilar utama EQ: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, memahami emosi orang lain, dan membina relasi yang sehat. Kemampuan-kemampuan ini membentuk manusia yang tidak hanya cerdas di kepala, tapi juga matang dalam bersikap dan bergaul.
Lalu ada kecerdasan spiritual—kemampuan mengenali makna di balik peristiwa hidup, membedakan mana yang benar dan salah, serta menjadikan moral sebagai dasar bertindak.
Orang yang memiliki SQ tidak hanya hidup, tapi menghidupkan nilai. Ia mampu merasakan kebenaran dari dalam hati, dan mengekspresikannya dalam tindakan yang jujur, baik, dan indah.
Saatnya Kita Berpikir Ulang Tentang Berpikir
Alquran menegaskan eksistensinya sebagai kebenaran, nasihat, dan peringatan (QS. 11: 120).
Dan, hanya mereka yang berpikir—dengan akal, hati, dan iman—yang mampu menangkap tiga lapis pesan itu secara utuh. Berpikir menurut Alquran bukan hanya satu sisi. Intelektual saja misalnya. Tidak demikian. Berpikir yang sebenarnya adalah yang utuh dan menyeluruh. Itulah Ulul Albab.
Maka, tugas kita bukan hanya membaca, tapi memahami. Bukan hanya tahu, tapi menghayati. Dan, bukan hanya menyerap, tapi menghidupkan ilmu itu dalam laku harian. Membentuk satu tatanan hidup yang bermartabat.
Kecerdasan spiritual sejatinya adalah akar dari hidup yang bermakna. Ia membimbing kita membedakan yang benar dari yang keliru, yang luhur dari yang murahan, dan yang penting dari yang sekadar ramai.
Ia menyinergikan logika, etika, dan estetika. Menjadikan hidup tidak hanya efisien, tapi juga penuh makna dan nilai.
Maka, tidakkah kita tertarik untuk melatih diri berpikir sebagaimana yang Allah kehendaki?
Menjadi manusia yang mampu melihat jernih, merasakan dalam, dan bertindak bijak?
Sebab, mereka yang berpikir bukan hanya cerdas—mereka menjadi cahaya bagi sekitar. Dan, lebih luas lagi, bagi kehidupan.*