Melihat Indonesia dahulu dan sekarang sudah sangat berbeda. Sekarang Indonesia telah tertinggal, bahkan oleh negara yang dahulu menjadi “murid” Indonesia: Vietnam. Mengapa semua itu terjadi?
Mari kita perhatikan dahulu faktanya. Ini saya temukan dalam opini Kasianus Nana seorang WNI di Vietnam yang tayang di Kompas.id. Saya kutip 3 paragraf langsung.
“Hari ini, Vietnam menjelma menjadi raksasa pertanian Asia. Sungai Mekong menjadi nadi kehidupan, mengairi sawah-sawah yang membentang tanpa batas. Desa-desa bergema dengan suara traktor dan petani muda yang bangga. Sementara di Indonesia, ironinya menyentak kesadaran: guru kini tertinggal oleh murid.
Kita masih berkutat dengan persoalan itu-itu saja: pupuk mahal dan langka, lahan sawah yang berubah menjadi perumahan, program-program pertanian hanya hangat di awal, dan petani hidup pas-pasan. Birokrasi menyulitkan, alih-alih memudahkan. Sering kali kebijakan pemerintah berpihak kepada pedagang besar ketimbang petani kecil.
Di Vietnam, saya melihat hal yang berbeda. Di sini, pemerintah hadir bukan hanya di saat panen raya, melainkan juga saat benih mulai ditebar. Negara menyediakan jalan pertanian yang layak, irigasi yang stabil, dan riset yang aplikatif. Setiap desa punya pusat pertanian. Anak-anak muda tidak malu menjadi petani karena menjadi petani adalah profesi yang terhormat dan menguntungkan.”
Komitmen Pemerintah Memajukan Indonesia
Tugas memajukan Indonesia memang tidak bisa hanya jadi beban pemerintah. Tetapi yang pertama harus kuat komitmen untuk memajukan Indonesia, jelas pemerintah.
Oleh karena itu setiap kebijakan pemerintah tidak boleh abai terhadap partisipasi dan peran strategis rakyat itu sendiri.
Perhatikan kalimat bahwa pemerintah Vietnam hadir, bukan saat panen saja, tetapi sejak benih ditebar. Artinya memang ada keberpihakan. Bandingkan dengan Indonesia, selama ini pemerintah hadir saat panen raya. Pemerintah dapat nama, petani tetap sama, tidak sejahtera.
Jadi pemerintah Vietnam tidak bermain retorika dan pengumuman, tapi aksi langsung. Buahnya jelas, anak muda Vietnam mau menjadi petani, karena itu profesi yang bermartabat dan menguntungkan secara ekonomi.
Presiden Prabowo memang telah mencanangkan 2,3 juta hektar sawah untuk segera dibangun. Anggaran untuk sawah baru itu mencapai Rp 15 triliun. Bahkan Prabowo telah melakukan pengecekan langsung infrastruktur areal lumbung pangan di Wanam, Merauke. Namun apakah itu sudah memadai?
Kalau menggunakan komparasi dengan melihat bagaimana pemerintah Vietnam bekerja, maka jelas, itu masih butuh penguatan pada sisi yang lebih komprehensif. Namun, setidaknya Prabowo telah melakukan itu pada awal masa pemerintahannya.
Tugas Prabowo sekarang bagaimana bisa memastikan berlangsungnya percepatan, sehingga sebelum usai masa tugasnya, swasembada pangan itu memang jadi kenyataan. Jangan sampai seperti mobil ESEMKA yang katanya hebat tapi tak pernah bisa orang lihat.
Rahasia Vietnam
Namun ada satu amatan dalam dari Kasianus Nana itu. Bahwa rahasia keberhasilan Vietnam menjadi raksasa pangan di ASEAN ada tiga. Yaitu kesetiaan pada riset dan pendidikan. Kemudian fokus membangun infrastruktur. Arahnya jelas membangun masa depan.
Saya kira pada era seperti sekarang, orang atau negara, mau maju atau tidak refernesinya sangat terbuka. Hanya memang komitmen itu yang paling berharga. Dan, itu bisa terwujud kalau pemerintah dan berbagai pihak mulai sadar bahwa bangsa ini akan maju kalau petaninya dihargai.
Negara industri manapun bisa maju luar biasa. Tapi kalau tidak ada petani yang menanam, darimana stok makanan akan kita peroleh. Lihat dalam Alquran, betapa manusia harus memerhatikan tentang makanannya.
Artinya, siapa menguasai produksi makanan ia akan selamat, bangsa itu akan eksis. Bukankah begitu sejarah Nabi Yusuf as dalam menyelamatkan Mesir dari krisis besar?*