Mengapa banyak orang gagal menjadi konsisten? Ini pertanyaan yang tak mudah kita menjawabnya dalam kenyataan.
Selasa lalu (27/8/24) naskah hikmah saya dengan judul “Menjadi Pribadi Istiqamah” terbit di Republika.id. Artikel itu saya mulai dengan fakta sejarah tentang Tsa’labah. Ia hidup pada masa Rasulullah, hidup bahkan shalat berjamaah bersama Nabi SAW.
Akan tetapi begitu ia memilih minta Nabi mendoakan agar dia menjadi kaya, perubahan sikap terjadi seiring ternak kambingnya semakin membesar. Tsa’labah yang awalnya rajin ke masjid menjadi jarang dan akhirnya tidak pernah.
Bahkan dalam satu momen, saat datang utusan Nabi kepadanya mengingatkan perihal pembayaran zakat, Tsa’labah menolak. Lambat laun Tsa’labah sadar. Namun saat ia ingin membayar pajak, Nabi menolak, bahkan sampai kepemimpinan Ali ra pun, zakat dari Tsa’labah tak pernah diterima. Singkat kata, Tsa’labah kembali jatuh miskin.
Argumen
Mengapa Tsa’labah tidak konsisten (istiqamah)?
Dalam konteks jawaban sederhana, Tsa’labah telah mengubah perkara yang utama dalam pikiran dan kehidupannya. Awalnya ia melihat iman utama, kemudian bergeser menjadi uang yang utama.
Selanjutnya, ketika belum kaya ia ingin semakin dekat kepada Allah, tetapi ketika harta datang, Allah ia tinggalkan. Kondisi Tsa’labah penting menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.
Menarik sebuah ungkapan ini: “Most people can’t keep up the consistency that’s why they never learned anything in their life“.
Artinya, “Kebanyakan orang tidak dapat mempertahankan konsistensi, itulah sebabnya mereka tidak pernah belajar apapun dalam hidup mereka”.
Baca Juga: Konsistensi Berikan Keuntungan Besar
Kalimat tidak pernah belajar membuat seseorang gagal berpikir. Kata-kata yang berkaitan dengan perintah berpikir dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 49 kali. Bukan sebatas angka, tetapi ini menunjukkan bahwa kita memang seharusnya benar-benar belajar dari apapun lalu berpikir untuk selamat.
Beberapa diksi yang mengajak kita berpikir dalam Alquran ada “Ta’qilun” (Kamu berakal), kemudian “Ya’qilun (Agar mereka berakal) dan “Afala ta’qiluun” (Maka apakah kamu tidak memikirkan).
Dalam kata yang lain argumen “ilmiah” untuk menjadi pribadi yang konsisten adalah tidak berhenti belajar, selalu berpikir dan memaksimalkan pikiran. Dan, orang yang berpikir pasti tidak akan salah menempatkan sesuatu yang penting, kecuali pada levelnya. Mereka yang benar-benar belajar akan menata pikiran dan perilakunya untuk terus istiqamah, konsisten, di dalam kebaikan iman.
Kunci Keberhasilan
Dalam skala hidup yang lebih baik, konsistensi adalah kunci keberhasilan. Utamanya keberhasilan dalam hal pembelajaran, baik itu keterampilan baru, pengetahuan, atau pengembangan diri, membutuhkan latihan dan pengulangan yang konsisten.
Tanpa konsistensi, informasi atau keterampilan yang diperoleh tidak akan tertanam dalam ingatan jangka panjang dan sulit untuk diaplikasikan secara efektif.
Secara teori konsistensi penting itu bisa kita lihat dalam konsep “neuroplastisitas” yang berbicara tentang kemampuan otak untuk berubah dan beradaptasi sepanjang hidup.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika kita mempelajari sesuatu yang baru, koneksi saraf baru terbentuk di otak. Namun, koneksi ini perlu diperkuat melalui pengulangan dan latihan yang konsisten agar menjadi permanen. Tanpa konsistensi, koneksi ini akan melemah dan akhirnya hilang, menyebabkan kita lupa apa yang telah kita pelajari.
Kebiasaan
Jangan lupa soal kebiasaan. Kebiasaan terbentuk melalui pengulangan tindakan yang konsisten.
Jika kita ingin membangun kebiasaan baru yang positif, seperti berolahraga secara teratur atau belajar setiap hari, maka kita perlu melakukannya secara konsisten selama periode waktu tertentu. Tanpa konsistensi, kebiasaan tersebut sulit terbentuk dan kita cenderung kembali ke pola perilaku lama.
Saat launching buku “Bahagia dengan Berqurban” yang diterbitkan oleh BMH ada awak media bertanya, bagaimana penulisan buku ini bisa cepat.
Kang Maman menerangkan, penulisannya itu cepat, karena penulisnya bukan hanya melihat sajian teori di meja, tetapi juga ikut turun, menyaksikan bahkan terlibat langsung dalam aksi-aksi kebaikan qurban. Maka begitu ada niat menulisnya, itu sudah tidak butuh waktu lama.
Dalam pelajaran yang lebih sederhana, guru-guru saya di pesantren memberi pesan singkat, “Ala bisa karena biasa.”
Saya bisa menulis ini, setiap hari, (tentu itu karunia Allah) secara empiris karena saya tidak berhenti membaca dan terus membaca dengan menulis. Orang yang tidak berhenti melakukan sesuatu ia akan menjadi ahli pada bidang itu pada akhirnya. Jadi, berusahalah konsisten dalam kebaikan, meski hanya satu kebaikan.*
Mas Imam Nawawi