Home Opini Mengambil Tafsir atas Banjir
Banjir Jabodebek

Mengambil Tafsir atas Banjir

by Imam Nawawi

Musibah banjir (3/3) secara mengejutkan telah terjadi di beberapa titik. Seperti Bekasi, Bogor dan Jakarta. Ketinggian air ada yang mencapai setinggi pinggang orang dewasa hingga menyentuh atap rumah. Lalu apa tafsir (yang relevan) atas banjir ini?

Adakah hujan harus menjadi kambing hitam?

Atau ini akibat dari abainya kita memperhatikan tata kelola lingkungan?

Banjir setiap tahun datang, tapi sepertinya sebagian besar pihak, termasuk pemerintah tidak benar-benar menyiapkan mitigasi dengan baik.

Bukan Banjir Kiriman?

Kompas.id sampai menurunkan laporan pada 5 Februari 2021 dengan maksud agar kita tak salah paham, apalagi keliru tafsir atas banjir yang melanda.

Laporan itu menyebutkan puncak hanya berkontribusi 8 persen terhadap banjir Jakarta. Selebihnya banjir Jakarta bersumber dari permasalahan di zona tengah hingga hilir DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung.

Jadi, bisa kita anggap, istilah banjir kiriman, perlu kita kaji lagi. Benarkah seperti itu?

Seperti pandangan Hidayat Pawitan, seorang ahli hidrologi dari IPB University. Ia menegaskan bahwa menyederhanakan penyebab banjir Jakarta hanya karena persoalan di kawasan hulu, seperti Puncak, merupakan pandangan yang keliru. Menurutnya, fenomena ini lebih kompleks dan melibatkan berbagai faktor lainnya.

Kelalaian Merawat Lingkungan?

Logika sederhana juga bisa kita susun, hujan terjadi setiap tahun (ada musimnya). Benarkah hujan penyebab banjir atau kita yang abai terhadap lingkungan. Sekarang tampaknya menjadi tren umum, kalau ada lahan kosong, pasti tidak lama akan berdiri bangunan.

Pertanyaannya, kalau terus begitu, kemana air akan meresap?

Lebih jauh, kebiasaan sebagian orang yang membuang sampah sembarangan. Kondisi itu menjadikan aliran sungai tertutup, lahan kosong berdiri bangunan liar, pohon ditebang tanpa penggantian—semua itu akar masalah nyata.

Jadi, banjir bukan sekadar bencana alam; ia cermin kelalaian kita. Ketika air menggenangi rumah, baru kita sadar: kerusakan lingkungan adalah hasil ulah sendiri.

Siapkan Bantuan

Terlepas dari kajian soal banjir, secara faktual kita mendapati ribuan rumah terendam, ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal sementara, dan aktivitas sehari-hari lumpuh total.

Di balik bencana ini, ada banyak pelajaran yang harus kita petik. Ini bukan hanya soal cuaca ekstrem, tetapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan lingkungan dan merespons krisis bersama. Sebagai makhluk sosial, kita butuh menyiapkan bantuan.

Saat ini, ribuan warga masih membutuhkan uluran tangan. Baitul Maal Hidayatullah telah mendirikan Dapur Hangat untuk penyintas banjir di Tanjung Barat, Jakarta Selatan (4/3).

Hari ini (5/3) bersama Vanilla Hijab, BMH, juga akan turun ke Bekasi menyalurkan bantuan.

Itu semua adalah respon terbaik sebagai manusia. Karena tidak sedikit dari saudara kita yang kehilangan tempat tinggal, makanan, bahkan akses ke air bersih.

Ini saatnya kita bergerak membantu, baik secara individu maupun kolektif. Bantuan berupa makanan, pakaian, obat-obatan, hingga relawan sangat dibutuhkan.

Tidak perlu menunggu panggilan; ambil inisiatif kecil seperti berdonasi atau bergabung dengan komunitas relawan. Setiap tindakan kecil punya arti besar bagi mereka yang sedang berjuang.

Mengambil Hikmah

Langkah tak kalah penting adalah mengambil hikmah. Ini bukan soal kalimat bijaksana, tapi langkah bijak yang nyata.

Jadi, kita juga harus mulai memikirkan langkah jangka panjang untuk mencegah tragedi serupa terjadi di masa depan.

Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus bersinergi membangun lingkungan yang lebih baik.

Revitalisasi sungai, penanaman kembali pepohonan, serta edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan adalah langkah konkret yang harus dilakukan.

Jangan biarkan proyek-proyek infrastruktur hanya menjadi janji manis di atas kertas, sementara alam terus menangis dalam diam.

Kita juga harus mendorong regulasi yang lebih ketat terhadap pembangunan di daerah rawan banjir. Pengawasan terhadap izin mendirikan bangunan di bantaran sungai dan lahan resapan air harus diperketat. Tanpa penegakan aturan yang tegas, upaya menjaga lingkungan akan sia-sia.

Sekali lagi, banjir di Jabodetabek bukan sekadar bencana alam, tetapi juga cerminan dari kesalahan manusia yang terus merusak alam.

Namun, di tengah keprihatinan ini, ada harapan. Impian bahwa kita bisa belajar dari kesalahan, bergerak bersama untuk membantu sesama, dan membangun masa depan yang lebih baik.

Dalam Ramadan penuh berkah ini, mari kita ubah diri kita dan lingkungan kita menjadi titik balik. Jadikan bencana sebagai pengingat bahwa menjaga alam adalah tanggung jawab kita bersama.

Karena pada akhirnya, alam yang kita jaga hari ini adalah warisan yang akan kita tinggalkan untuk generasi mendatang. Apakah kita ingin meninggalkan kenangan indah atau trauma yang terus berulang? Jawabannya ada di tangan kita.

Dan, inilah sebagian dari tafsir atas banjir yang mesti hadir dalam kesadaran kita semua.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment