Home Kisah Mengajak Gen-Z Diskusi, Butuh Kreasi
Diskusi

Mengajak Gen-Z Diskusi, Butuh Kreasi

by Imam Nawawi

Anak muda, tepatnya gen-Z (lahir dari 1997 – 2012), bukan termasuk orang yang mudah untuk berdiskusi. Apalagi kalau ada jarak usia alias beda generasi. Butuh kreasi tersendiri untuk membuat mereka mau dan menikmati diskusi.

Beberapa artikel menunjukkan gen-Z bahkan termasuk sulit untuk bekerja sama dengan rekan kerja di kantor. Intelligent.com pada Agustus 2024 melakukan survei, hasilnya 6 dari 10 perusahaan memecat pekerja dari gen-Z.

Saya rasa itu menguatkan. Tidak bisa bekerja sama, awalnya sulit untuk duduk bersama, berdiskusi. Boleh jadi itu bukan karena dasar kesadaran. Tapi kebiasaan mereka yang terbiasa berkomunikasi secara teks dan visual melalui HP.

Wajar saja kalau ada anggapan, gen-Z itu sosial tapi individual. Sosial artinya aktif di media sosial. Karena kedekatan sosial itu, mereka tak butuh nomor WA. Mereka cukup berkomunikasi melalui DM Instagram.

Sisi lain mereka individual. Maksudnya tak begitu tertarik bersosialisasi dalam realita keseharian. Bahkan dalam hal komunikasi langsung, mereka tidak begitu lancar melakukannya. Soal interaksi langsung, mereka butuh bimbingan kita semua.

Ajak Nonton Film

Dalam 4 hari saya sering makan dan duduk anak gen-Z tak ada usulan ide untuk bisa kami bahas bersama. Mereka punya dunianya sendiri.

Hingga tibalah hari ke-3, kami sarapan bareng. Saya mulai memecah suasana dengan menanyakan apa hobi mereka di sekolah dan kuliah. Satu orang menjawab saya suka sejarah. Saya jadikan itu poin.

Ketika tiba waktu makan siang, saya infokan kepadanya bahwa ada film sejarah sangat bagus. Matanya terbuka, senyumnya mulai mengembang.

Sesaat kemudian, kuteruskan penjelasannya. Film itu tentang perjalanan suku nomaden di Turki yang akhirnya mampu membangun imperium.

“Apa judulnya?” salah satu gen-Z bertanya. “Ertugrul,” jawabku.

Selepas makan siang itu, mereka duduk bersama dan menyaksikan film itu di episode pertama.

Terjadilah Diskusi

Karena durasi film yang cukup panjang dan agar mereka menonton dengan perasaan rileks. Saya tidak menemani, kecuali hanya beberapa saat.

Ketika tiba waktu makan malam, saya pun seperti dapat momentum.

Saya bertanya singkat. “Apa pelajaran dari film yang tadi?”

Salah satu langsung menjawab. “Luar biasa, pada tahun 1225 masehi itu perbudakan masih terjadi. Kaum wanita tampak tak punya nilai.”

Satu lagi menimpali, “Muslim kala itu walau hidup di bawah tenda tapi nyalinya luar biasa. Berani dan tangguh.”

Dari dua jawaban itu pun kami berdiskusi. Tak terasa hingga satu jam lebih.

Mereka bahkan tak sebatas menikmati diskusi itu. Sebagian mengutarakan kendala hidup yang mereka alami.

Salah satunya sulit bebas dari jeratan scrolling media sosial. Susah fokus pada tujuan. Serta mudah terdistraksi notifikasi HP mereka sendiri.

Terhubung dari Hati ke Hati

Pada akhirnya kami bisa terhubung dari hati ke hati. Sebelum malam begitu larut, pesan-pesan inti kehidupan pun sempat saya sampaikan. Mereka ternyata memahami dan bertekad menjadi lebih baik esok.

“Insya Allah kami akan agendakan itu sebelum fajar esok hari menyapa bumi,” tutur satu orang yang disambut senyum lainnya.

Apapun nama generasi, satu hal saya yakin. Kalau mereka pasti punya keinginan menjadi baik. Mereka juga memiliki pikiran terbuka. Jadi bagaimana kita merawat dan menumbuhkan kesadaran untuk mereka lebih baik, itu yang lebih utama kita temukan caranya.

Pengalaman ini memberikan saya satu pelajaran, bahwa sesuatu tak harus langsung kita utarakan. Kita bisa memilih cara berputar dan meliuk. Benar juga ungkapan yang mengatakan, hidup ini adalah seni mencapai tujuan. Satu hal yang harus kita perhatikan, tujuan dan caranya tak melawan kehendak Tuhan.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment