Home Opini Mendudukkan Kecerdasan Buatan
Mendudukkan kecerdasan buatan

Mendudukkan Kecerdasan Buatan

by Imam Nawawi

Belakangan orang ramai membicarakan kecerdasan buatan. Sebuah platform digital yang mampu memberikan jawaban apapun yang manusia tanyakan. Sebagian mulai khawatir bahkan ada yang sangat ketakutan, sebagian merasakan itu adalah keuntungan. Pada tahap inilah kita perlu mendudukkan kecerdasan buatan itu secara objektif.

Seperti alat atau teknologi pada umumnya kecerdasan buatan adalah untuk memudahkan manusia melakukan aktivitas atau memenuhi kebutuhan hidupnya.

Akan tetapi kecerdasan buatan berupa ChatGPT memang memberikan kemudahan luar biasa terutama untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik, baik jenjang pendidikan menengah hingga perguruan tinggi.

Baca Juga: Awal Kali Manusia Tergelincir

Lebih jauh ChatGPT menurut sebagian orang dapat mengancam nasib profesi kreatif. Bahkan mungkin orang merasa tidak perlu lagi seorang guru hingga murid harus datang ke kelas.

Sebagai contoh dengan hadirnya aplikasi Canva orang tidak perlu lagi skill dari seorang desainer. Siapapun bisa membuat desain yang dia inginkan berdasarkan template yang telah Canva sediakan.

Berpikir

Kekhawatiran sebagian orang itu memang cukup beralasan. terlebih sebagian besar orang di Indonesia tidak terlalu senang untuk berlelah-lelah berpikir.

Kalau bisa cari jawaban cepat mengapa harus repot-repot berpikir. Mungkin begitu pikiran sebagian dari mereka, termasuk mahasiswa atau bahkan dosen sekalipun.

Pernah seseorang berkata kepada saya mengapa banyak orang kesulitan berbicara apalagi menulis itu tidak lain karena memang sedikit kosakata yang ia masukkan dalam kepalanya.

Dan bagi saya fakta akan hal itu juga akan membuat seseorang kesulitan berpikir. Ibarat akan memasak sebuah makanan khas, bahan yang ada tidak memadai. Jadi tidak mungkin masakan itu benar-benar bisa diwujudkan.

Demikian pula dengan hal berpikir. Ketika seseorang kekurangan stok kosakata dalam akalnya, kemudian juga tidak terlatih untuk melakukan upaya menghubungkan satu dengan hal lain secara rasional dan sistematis, maka akan semakin sulit baginya untuk betul-betul mau berpikir.

Akan tetapi ketika manusia Indonesia mau benar-benar belajar berpikir maka sebenarnya ChatGPT bukanlah sebuah ancaman.

Sebab ia hanya mengumpulkan tema-tema kehidupan kemudian menyajikan seiring dengan apa yang kita ketik di dalam aplikasi ataupun web tersebut.

ChatGPT bisa memberikan informasi yang kita minta tetapi dia tidak akan pernah bisa memberikan jiwa pada data yang ia sajikan.

Jiwa

Dengan demikian kita juga bisa melihat bahwa ChatGPT memiliki sebuah kekurangan yang sangat mendasar yaitu jiwa.

Dalam pengertian yang lain sebenarnya ini juga menjadi sebuah peringatan, bahwa manusia di dalam mendidik generasi jangan sebatas orientasi teknologi tetapi juga harus mengedepankan kekuatan jiwa.

Baca Lagi: Tak Semua Kecerdasan Menyelamatkan

Kalau dunia pendidikan masih berkutat pada aspek kognitif yang terus-menerus menjejali otak anak-anak dengan hafalan definisi, sebatas tanggal dan peristiwa, maka ChatGPT memang akan “menghancurkan” sistem pendidikan Indonesia.

Akan tetapi kalau pendidikan di Indonesia segera sadar dan memutar arah haluan menjadi upaya menghadirkan keteladanan dan generasi yang memiliki jiwa tentulah ChatGPT itu tidak akan berarti apa-apa.*

Mas Imam Nawawi

 

Related Posts

Leave a Comment