Judul mendidik tokoh ini saya ambil dari kisah A. Hassan (1887-1958) mendidik M. Natsir. Seperti tercatat dalam sejarah, M. Natsir mampu tampil sebagai tokoh Muslim yang piawai dalam debat dan menulis diantaranya berkat interaksi intens dengan A. Hassan.
Herry Mohammad dalam buku “Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20” menjelaskan hal itu. Dalam dakwah Hassan lebih tertarik melakukannya dengan cara berdebat secara langsung dan menulis, baik dalam bentuk artikel atau buku.
Hassan terbiasa debat dengan berbagai kalangan. Bukan hanya para kiyai dan ulama, tetapi juga pendeta, tokoh-tokoh Ahmadiyah hingga orang ateis.
Hassan adalah penggerak Persis (Persatuan Islam). Tentu saja karena keahliannya, ia langsung populer di kalangan kaum muda yang progresif di dalam tubuh Persis. Tidak heran jika Hassan kemudian identik dengan Persis. Begitu pun sebaliknya, Persis identik dengan Hassan.
Memilih A. Hassan
M. Natsir sosok pemuda hebat, usia belia namun akalnya melampaui masanya. Ketika dapat beasiswa ke Belanda, Natsir tidak memilihnya.
Natsir lebih senang mendalami kajian Islam kepada Ustadz A. Hassan, sosok cerdas dan tajam dalam berpendapat. Kemudian bersama A. Hassan, Natsir mengelola majalah “Pembela Islam” hingga tahun 1932 (Lihat buku “Gagasan dan Gerak Dakwah Mohammad Natsir” karya H. Mas’oed Abidin).
Baca Juga: Menggali Mutiara Hidup dari M. Natsir dan Abdullah Said
Menolak beasiswa, Natsir dapat tawaran menjadi pegawai Belanda. Namun, lagi-lagi Natsir menolak. Natsir lebih senang menghidupkan idealismenya dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Islam di Bandung dengan memimpinnya langsung selama 10 tahun (1932-1942).
Kuatkan
Interaksi guru dan murid seperti A. Hassan dan M. Natsir ini harus menjadi kesadaran penggerak organisasi Islam, lembaga pendidikan Islam, bahkan gerakan-gerakan pemuda.
Tumbuh kembangnya generasi mendatang tidak cukup hanya dengan mengandalkan ketekunan anak-anak muda belajar. Mereka tetap memerlukan figur.
Kalau kita tarik ke dalam dinamika Hidayatullah, generasi awal adalah murid langsung, yang melihat bahkan merasakan gerak perjuangan Ust. Abdullah Said dari titik nol.
Namun, seiring perjalanan waktu, sosok-sosok itu mulai berkurang dan terus berkurang. Maka perlu pola transformasi sekaligus orang yang bisa menjadi figur yang fokus dan tekun berinteraksi dengan generasi lebih muda dan lebih muda lagi.
Sisi yang amat penting menjadi perhatian adalah ungkapan kolega saya, bagaimana indahnya perjuangan pada masa itu hanya saya yang bisa memahami. Kemudian anak-anak muda hanya mendengar dan tidak pernah merasakan.
Seperti kita tahu, orang yang punya idealisme tinggi adalah yang merasakan nikmatnya berjuang untuk Islam. Inilah yang kita perlukan untuk mendidik anak-anak yang katanya Gen-Z dan gen-gen lainnya. Saatnya sejarah pendidikan tokoh kita hidupkan kembali.*