Home Opini Menakar Maksud Prabowo dalam Wawancara dengan 7 Media
Prabowo

Menakar Maksud Prabowo dalam Wawancara dengan 7 Media

by Imam Nawawi

Hal yang tak kalah penting bagi politisi, termasuk eksekutif, bahkan presiden adalah komunikasi. Baru-baru ini media mengabarkan ada 7 pemimpin redaksi media yang berkesempatan wawancara langsung dengan Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto.

Belakangan, Prabowo memang tampak dalam sorotan tajam publik. Terutama ketika RUU TNI telah sah menjadi UU TNI. Plus, momentum tarif dagang AS yang mengguncang dunia juga berdampak langsung ke Indonesia. Kini nilai tukar rupiah hampir tembus 17.000 per dolar AS.

Terkhusus pada era ini, peristiwa politik tak lagi tersekat batas geografis. Apa yang jadi keputusan Washington bisa memicu diskusi bahkan berdampak ke warga Jakarta dan Indonesia dalam hitungan jam.

Dari fakta itu, kita dapat mencoba menakar, apa yang jadi maksud utama Prabowo bertemu 7 pemred media. Secara teori kita dapat pahami, bahwa jika komunikasi politik tidak berjalan baik, maka kerusakan bukan hanya soal persepsi—tapi bisa berdampak langsung pada gagalnya sistem politik itu sendiri.

Apalagi, pejabat yang membantu Prabowo, yang punya tugas mengkomunikasikan pandangan pemerintah terhadap dinamika sosial politik yang ada, publik melihat tidak dapat menjalankan fungsi komunikasi dengan baik. Nir empati, cenderung arogan, dan reaktif.

Memastikan Maksud Prabowo

Dalam kata yang lain, Prabowo merasa perlu untuk berkomunikasi ke publik melalui saluran pilar ke-4 demokrasi, yakni media.

Ketidakmampuan orang pilihannya dalam berkomunikasi membuat Prabowo turun tangan. Karena ia sadar komunikasi politik bukan pilihan, melainkan keharusan.

Prabowo mengerti posisinya harus mampu menjelaskan, membuka ruang dialog, dan membangun makna bersama dengan publik. Terlambat mengambil momentum komunikasi yang sehat, Prabowo bisa mengalami legitimasi yang rapuh dari rakyat. Citra positif cepat terkikis, dan kepercayaan publik mudah ambruk.

Tindak Lanjut Komunikasi

Namun, yang penting jadi perhatian Prabowo adalah apa selanjutnya. Setelah wawancara dengan 7 media itu dia lakukan.

Jangan sampai Prabowo terjebak pada gaya lama. Yang mana politik kerap hanya jadi ruang kosong yang sepi makna, penuh simbol, tapi minim keterlibatan emosional rakyat. Apalagi sampai benar-benar menghadirkan bukti kepada rakyat.

Dalam dekade akhir ini, orang banyak melihat politik sebatas ajang mendorong citra yang menggantikan realitas.

Jangan sampai seperti penjelasan Jean Baudrillard. Yang menyebut ini sebagai simulacra—yang mana pemimpin seolah-olah dekat dengan rakyat lewat narasi yang dibentuk rapi, padahal ia justru nyaman berada dalam lingkaran elite.

Prabowo harus mampu mendorong segenap daya yang ia miliki untuk benar-benar hadir setelah berkomunikasi. Semakin lambat turun setelah itu, potensi Prabowo dinilai tidak berbeda dari Jokowi semakin tinggi.

Cukup belajar pada masa lalu. Publik melihat ada gambar “blusukan” yang massif, tapi makna keberpihakan tak kunjung rakyat rasakan. Akibatnya lambat laun rakyat memahami, bahwa yang hadir bukan pemimpin sejati, tapi reality by proxy—wakil dari harapan semu yang dibuat-buat.

Keputusan Berani

Sekarang publik menunggu apa keputusan berani seorang Prabowo. Ekspektasi itu wajar muncul, mengingat sebagian besar publik masih menaruh harapan besar kepada Prabowo. Sosok yang memang orang kenal tegas dan menempatkan rakyat di dalam hati dan pikirannya.

Sekarang itu yang publik nanti. Beranikah Prabowo mengambil keputusan sulit, berpihak kepada yang tertindas, dan mau mendengar suara-suara kecil yang sering diabaikan. Rakyat tentu mencatat, mana pemimpin yang sungguh turun tangan, dan mana yang sekadar memoles citra demi kekuasaan. Komunikasi yang dibangun atas dasar manipulasi tak akan pernah melahirkan kepercayaan jangka panjang.

Kepercayaan Publik Tidak Datang dengan Sendirinya

Opini publik tidak terbentuk begitu saja. Ia lahir dari interaksi antara credulity (rasa percaya), reliance (seberapa penting rasa percaya itu), dan welfare values (nilai kesejahteraan yang dirasakan rakyat).

Ketiganya membentuk jembatan antara pemerintah dan rakyat. Ketika jembatan itu retak, hubungan kekuasaan dan kepercayaan ikut roboh.

Berhenti memahami komunikasi politik sebatas alat. Apalagi alat pemadam krisis ketidakpercayaan publik. Secara hakikat komunikasi bukan sekadar pemadam kebakaran saat rumor dan ujaran kebencian membanjiri ruang publik. Ia harus dipahami sebagai substansi demokrasi, bukan hanya instrumen sesaat.

Komunikasi politik yang sehat membuka ruang dialog, membentuk pemahaman bersama, dan menciptakan zona kemungkinan sepakat (zone of possible agreement).

Politik sejatinya adalah seni menyatukan perbedaan, bukan memperkuat polarisasi. Namun itu hanya mungkin jika komunikasi dikelola dengan niat baik, transparan, dan berorientasi jangka panjang. Nah, sampai pada tahap ini, adakah Prabowo benar-benar akan melangkah ke sana?*

Prabowo Siap dengan Kritik

Ketika Prabowo mau wawancara dengan 7 media nasional, ringkasnya mantan Danjen Kopassus itu siap terbuka. Termasuk siap menerima kritik.

Kalau kita kembali pada aspek etimologis, kata komunikasi berasal dari communicatio—yang berarti pertukaran pikiran atau pemberitahuan.

Artinya, komunikasi sejati hanya bisa terjadi ketika ada kesamaan makna antara pengirim dan penerima pesan. Dalam politik, ini berarti komunikasi bukan sekadar menyampaikan kebijakan, tapi mengajak rakyat memahami, menimbang, dan bahkan mengkritisi. Saya yakin, memang itu maksud PRabowo.

Astrid S. Soesanto menekankan bahwa komunikasi politik bertujuan menciptakan pengaruh yang mengikat warga melalui kesepakatan yang ditentukan lembaga-lembaga politik.

Sementara itu Roelofs dan Barnlund bahkan menyebutnya sebagai aktivitas politik itu sendiri—politics that speaks. Di situlah letak urgenya: politik yang hidup adalah politik yang bicara—jujur, terbuka, dan mengalir bersama rakyat.

Pada level ini Prabowo telah melakukan upaya yang seharusnya. Dan, memang tidak perlu takut kritik. Karena pada dasarnya rakyat tidak butuh pemimpin sempurna—mereka hanya butuh pemimpin yang bersedia bicara, mendengar, dan berjalan bersama.

Pada akhirnya kita memahami dengan jernih. Bahwa komunikasi politik bukan soal kata-kata, tapi niat. Bukan soal pencitraan, tapi ketulusan.

Jika Prabowo mengedepankan kesadaran ini, rakyat akan melihat bahwa Indonesia masih tegar. Bisa kita harapkan dan dorong menjadi lebih progresif, adil dan makmur.

Tapi ujian sebenarnya sedang berlangsung. Mampukah Prabowo mengingat konten komunikasinya itu dengan jernih. Lalu siapkah dia berhadapan dengan kepentingan yang kontra atas apa yang telah ia sampaikan.

Saya kira itulah momentum untuk Prabowo benar-benar membuktikan kepada rakyat, maksud komunikasinya memang layak rakyat nantikan dan benar-benar akan rakyat rasakan.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment