Orang menilai maju dan suksesnya seseorang umumnya karena adanya progresivitas dalam hal materi. Namun, tidak jarang, orang berlimpah harta, malah sering tidak bahagia dan sering sengsara hidupnya. Perilakunya aneh, orientasinya rendah dan cenderung menganggap biasa perbuatan-perbuatan buruk. Dalam kata yang lain, sebenarnya manusia lebih membutuhkan progresivitas dalam hal batin. Mengapa?
Coba perhatikan kisah umat terdahulu dalam Alquran. Kaum yang binasa adalah yang terlalu bangga dengan dunia dan rusak dalam hal kesehatan batin.
Batin yang rusak membuat manusia menolak kebenaran, meski itu datang dari utusan Tuhan, para Nabi dan Rasul. Mereka kehilangan kemauan dan kemampuan mendengar dengan baik. Mereka sulit mencerna nasihat. Sebaliknya mudah sekali menjadi marah dan jahil.
Makna
Dalam Islam, “batin” merujuk pada aspek terdalam atau “inner self” seseorang yang mencakup perasaan, niat, keyakinan, dan kesadaran spiritual.
Batin adalah sisi dari diri yang tidak tampak dan berhubungan langsung dengan hati nurani atau qalb, yang dalam ajaran Islam sering dianggap sebagai pusat spiritualitas manusia.
Selain itu, batin juga diyakini memiliki keterkaitan erat dengan hubungan manusia kepada Allah, di mana niat dan kesucian batin menjadi dasar amal ibadah.
Ajaran-ajaran tasawuf dalam Islam, misalnya, sering kali menekankan pemurnian batin atau tazkiyatun nafs, yaitu proses penyucian jiwa dari sifat-sifat buruk untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hal itu sesuai dengan misi kenabian Muhammad SAW, yakni mendidik manusia sampai pada tahap mensucikan jiwa (batin) kita, sehingga kita selamat dari kesesatan, sebagaimana manusia dahulu di masa Nabi yang menolak dakwah.
Baca Juga: 3 Hal Penting untuk Masa Depan
Dalam kata yang lain, Islam datang memang ingin manusia sejahtera secara batin, yakni menemukan dan memahami serta meyakini dan menyukai menjalankan nilai-nilai kebaikan.
Penerapan
Pernah mendengar seorang pemimpin memecat atau mengangkat seseorang? Dalam dunia politik apalagi. Terlepas dari mekanisme yang memagari, sesungguhnya semua itu berdasar pada kondisi batin pemimpin itu sendiri.
Dalam kehidupan yang lebih dekat, pernah melihat orang marah, kemudian lisannya berkata-kata tajam dengan suara keras, karena perjalanan sebuah pesawat mengalami delay?
Manusia memang tidak bisa lepas dari dinamika batin. Batin (hati) manusia terus bergerak merespon setiap keadaan. Kalau batin sendiri bekerja, tanpa panduan wahyu, maka ia akan mudah lelah.
Betapa capeknya kalau setiap hal yang tidak menyenangkan harus kita respon dengan emosi. Betapa ruginya kalau kekurangan orang harus kita hukumi dengan pemutusan pertemanan.
Nah, Alquran itu memberikan panduan bagi batin agar mampu merespon apapun dengan tepat. Oleh karena itu tugas utama kita adalah menerapkan apa yang Alquran terangkan.
Kalau ada sesuatu yang tak sesuai kehendak hati, lalu diri ingin marah, kata Alquran jangan lampiaskan. Karena orang yang mampu menahan amarah adalah ciri orang bertakwa (QS. Ali Imran: 134).
Jauh lebih baik lagi setelah mampu menahan amarah kita memaafkan kesalahan orang lain. Kemudian kita susul dengan berbuat baik seperti sedekah, itu benar-benar sangat menentramkan batin.
Lebih-lebih kalau kita bisa melihat dengan keimanan bahwa apa yang kita alami adalah kondisi terbaik yang Allah berikan kepada kita. Masya Allah, batin kita akan sangat kaya akan kesyukuran dan kebahagiaan.
Dengan demikian berhenti menjadi susah karena batin yang lelah. Kuatkan batin kita dengan terus terhubung dengan Alquran.
Sungguh, batin yang tersambung dengan wahyu, ia seperti dunia yang selalu bertemu matahari, bintang gemintang bahkan rembulan. Terus dalam petunjuk, terang dan menerangi.*