Setiap orang umumnya fokus pada masalah yang menderanya. Sehingga ia sulit untuk menjadi bahagia. Padahal bahagia adalah satu kondisi hati yang kalau kita menciptakannya, maka segera hati ini akan bahagia.
Tetapi itu bukan satu-satunya sumber manusia tidak bahagia. Ada satu lagi, yakni keinginan yang tidak bertepi.
Baca Lagi: Mengapa dalam Islam Bahagia itu Dijamin?
Oleh karena itu Gus Baha mengutip resep dari Ibn Atha’illah penulis kitab Hikam, untuk bahagia kita harus sedikit yang disukai, sehingga sedikit kesulitan atau kesusahan yang dirasakan.
Sekarang banyak manusia terobsesi oleh hal-hal yang di luar jangkauan kapasitas akalnya sendiri. Sehingga kerapkali, karena membayangkan masa depan sampai 20 hingga 40 tahun, ia justru terjerembab pada praktik hidup yang haram, entah dengan korupsi atau pun melakukan hal-hal yang nuraninya sadar itu haram.
Akibatnya manusia terfokus pada urusan dunia yang fana, mulai dari makanan, tempat tinggal hingga tempat untuk berwisata. Jarang sekali mereka mengalokasikan dana zakat, infak dan sedekah dari penghasilannya.
Terapkan Nilai Islam
Untuk bahagia ternyata kita perlu mengenal Allah sebagai Tuhan, Maha Memberi Rezeki, Maha Adil dan tentu saja Maha Mengasihi.
Jadi, tidak perlu sebenarnya dalam hidup ini kita iri kepada orang lain dan merasa kebahagiaan orang sebagai penyakit bagi diri sendiri.
Justru sebaliknya, itu kita lihat dengan kacamata aqidah sehingga kala melihat beragam bentuk kehidupan orang lain, kita merasakan kebesaran Allah Yang Maha Memberi Rezeki.
Ketika hal itu hadir menjadi sistem kesadaran diri, maka insha Allah dalam kehidupan kita akan proporsional.
Waktunya bekerja ya segera bekerja. Bukan tidar-tidur atau meminjam bahasa Gus Baha, “mung kukar-kukur.”
Giliran ibadah, sholat, maka jangan tidak sholat. Dirikanlah sholat.
Membantu teman yang memerlukan bantuan. Jangan merasa bahwa orang yang memerlukan bantuan itu malas sehingga sedikit uangnya.
Dalam bahasa aqidah itu adalah peluang diri amal sholeh, sekaligus bentuk ujian apakah diri ini masih peduli terhadap sesama.
Simpelnya, kata seorang Yusuf Hamka dalam salah satu podcast di Youtube, kalau mau hidup bahagia maka perbanyak teman dan berbuat baik kepada teman.
Cara itu akan jadikan banyak teman mendoakan kita dan mendukung kita, sehingga jika ada pertemuan ulasannya adalah kemajuan demi kemajuan. Bukan sebaliknya, gosip dan bicara yang tidak berguna.
Bahagia Bukan Soal Uang
Banyak orang mengatakan, “Uang bukan segalanya, tetapi segala hal butuh uang.”
Sebenarnya yang tepat adalah dalam kehidupan dunia setiap orang butuh uang. Maka berusahalah mendapatkan uang. Ketika sudah dapat, jadikan uang sebagai kendaraan untuk hidup berkah dan bahagia dunia sampai akhirat.
Selain itu di dalam Islam ada perintah zakat, infaq dan sedekah. Itu berarti umat Islam harus produktif, kreatif bahkan unggul, sehingga mampu menguasai dunia ekonomi.
Baca Juga: Bahagia di Cimande Hills
Namun, jangan berhenti pada soal mendapatkan uang dan membelanjakan uang untuk kesenangan. Lakukanlah hal-hal besar untuk kemajuan umat dengan harta pribadi kita.
Jangan terus-menerus bicara kekayaan sampai lupa diri, lupa iman dan lupa berbuat kebaikan. Jika itu yang terjadi, biar tinggal di istana termegah di muka bumi, hati pasti akan sengsara.
Sebab manusia secara hakikat, bukan semata makhluk jasadiyah yang butuh nikmat materi belaka. Tetapi juga makhluk yang ada ruhani di dalamnya, di mana untuk bahagia diperlukan iman dan taqwa. Jadi, apakah sudah siap bahagia?*