Kamis (11/7/24) menjadi hari pertama saya tak bisa melihat Hp dan beraktivitas literasi seperti biasa. Satu kegiatan memberikan aturan main yang tak dapat saya tolak. Syukurnya, saya bisa menjalani dengan senang hati. Bonusnya saya mendapat pemahaman lebih mendalam perihal pemimpin. Pemimpin itu harus mampu merasakan, bukan mengejar layanan (fasilitas).
Seperti belakangan ini, banyak orang berpikir bahwa memimpin artinya menjadi pejabat. Rata-rata orang yang usai masa jabatan dan tak lagi menjabat, saat awak media datang dan bertanya, perbedaannya cuma satu.
“Beda saya jadi menteri dan tidak jadi menteri satu, kemana-mana dahulu lancar. Sekarang kemana-mana macet,” ucapnya.
Baca Juga: Bacalah dan Temukan Solusi
Artinya, kesan orang yang memimpin karena dapat jabatan ternyata “sebercanda” itu. Walaupun tidak bisa kita pukul rata.
Merasakan
Pemimpin itu idealnya mampu merasakan penderitaan rakyat, sangat ingin memberikan penguatan terhadap iman dan keselamatan, serta lemah lembut, penuh belas kasih dan sayang terhadap bawahan.
Ketika pemimpin tidak memiliki hal kunci itu, maka tidak heran kalau orang miskin semakin miskin. Karena mereka putus asa, iman terus melemah. Akhirnya memandang judi online sebagai jalan keluar. Bukannya keluar dari kemiskinan, ia malah semakin masuk lubang kemelaratan.
Orang kaya dijadikan tuan, akibatnya kerusakan alam, krisis moral menjadi hal yang tak terhindarkan.
Lalu kapan dan siapa yang bisa mengubah situasi dan kondisi itu?
Hanya kita sendiri dan sesegera mungkin, kembali menuju jalan yang penuh cahaya. Tidak ada jalan lain. Hanya itu satu-satunya solusi.
Meneguhkan
Allah SWT menerangkan, orang yang baik (imannya) ketika diberikan kedudukan, amanah kepemimpinan, maka ia mendirikan shalat, menunaikan zakat, mendorong kebijakan yang ma’ruf dan mencegah regulasi yang mungkar (Lihat QS. Al-Hajj: 41).
Baca Lagi: Apakah Organisasi Anda Sehat?
Artinya, saat seseorang menjadi pemimpin pada level dan cakupan seperti apapun, harus selalu sadar amanah utama Allah Ta’ala itu.
Jika tidak, maka hati akan mudah mengikuti bisikan hawa nafsu. Membuat kebijakan rusak dan menghalang-halangi aspirasi kebaikan menjadi kebijakan.
Hal itu apabila dilakukan oleh seorang pemimpin, maka hatinya akan mengeras, bahkan membatu.
Akibatnya akalnya rusak dan hatinya busuk. Kalau sudah seperti itu, penderitaan rakyat bukan jadi program utama untuk diatasi. Tetapi malah akan jadi bahan eksploitasi untuk terus mempertahankan jabatan.
Kalau ada tawaran, tidak lagi ia teliti. Asalkan menyenangkan, langsung tandatangan. Padahal itu benar-benar mematikan kehidupan rakyatnya sendiri. Kata Ustadz Nashirul Haq, itu pemimpin tidak teliti dan lebih tepatnya tidak peduli.*